27) Pasar Malam

1 1 0
                                        

Pekerjaan rumah kembali melimpah sejak aku selesai latihan menjadi suporter, tepatnya pada hari dilaksanakannya lomba pertama kali. Aku mulai membantu ibu berjualan, melayani orang-orang yang ingin laundry, mengantarkan pesanan orang-orang, dan membantu memasak. Mencuci piring dan membersihkan rumah kulakukan bergantian dengan Lala. Anak itu senang sekali akhirnya aku kembali bekerja.

Lima hari sudah berlalu. Rasanya lama sekali. Hari ini kompetisi itu selesai, tepat pada hari Sabtu sekaligus akhir bulan. Guru-guru setuju untuk memberi kami libur satu hari. Ralat, dua hari sekalian hari Minggu di bulan selanjutnya.

Aku sedang agak santai sekarang meskipun tidak di kamar, tapi di ruang laundry. Halaman utama handphone-ku kugulir-gulir ke kiri lalu balik ke kanan, bingung mau membuka aplikasi apa. Akhirnya aku membuka aplikasi pesan. Angka 44 berwarna merah di pojok lambang aplikasi itu mengganggu sekali. Itu pasti ulah operator. Benar saja. Aku terus mengabaikan pesan operator. Langsung saja kupilih pesan dari mereka lalu kuhapus tanpa kubaca. Bisa dipastikan isinya tidak jauh dari promosi.

Sekarang sudah bersih. Mataku tertuju pada satu pesan yang sudah kubaca, yang pengirimnya tidak kunamai dan hanya berupa deretan angka. Aku masih ingat apa isinya, tapi tetap saja kubuka lagi. Barisan kalimat itu tetap membuatku tersenyum saat membaca kedua kalinya.

Di dunia ini semuanya memang sudah tersedia. Bahkan aplikasi pelacak identitas nomor tidak dikenal pun. Jariku baru saja tergerak mencari aplikasi seperti itu di Google. Ia memberi beberapa informasi tentang aplikasi serupa yang tinggi ratingnya. Beberapa ada yang memberi informasi cara memakainya. Aku membaca aplikasi yang direkomendasikan. Kuingat namanya yang paling sedikit kapasitasnya. Layar handphone-ku berubah menampakkan Google Play Store. Ada, aplikasi itu muncul. Buru-buru aku menekan tulisan download. Rasa ingin membanting handphone-ku meningkat. Meski tidak ada peringatan penyimpanan internal hampir penuh, handphone sejak tiga tahun silam itu tetap tidak bisa menambah aplikasi baru. Aku pun tidak mau mengurangi salah satunya. Tidak bisa.

Aku berdiri ingin mengambil air minum. Keinginanku harus kutunda karena handphone-ku berbunyi. Sepagi ini—sekitar pukul setengah sepuluh—dia meneleponku.

"Maaf nelpon dan nggak langsung ke rumah. Aku lagi di kampus." Aku habis berburuk sangka padanya kalau dia suka membuang-buang pulsa. "Kamu inget, kan, malam nanti kita mau ke pasar malam. Udah minta izin sama Ibu?"

Belum. Aku belum melakukannya. "Ya udah, minta izin, ya. Nanti habis Isya aku ke rumah. Jangan lupa pakai jaket biar kita sama-sama nggak kedinginan." Aku mematuhinya, lalu setelah bertukar ucapan penutup telepon, sambungan kami kuputus segera.

Aku kembali duduk. Rasa ingin minumku hilang, pada dasarnya aku tidak haus. Dasar. Aku tahu betapa penting kata itu sekarang. Tanpa dasar, semuanya akan berjalan dengan hambar. Kak Aron tidak berhasil menanam dasar itu di hariku.

Sejak percakapanku dengan dua pelajar Smanasia di bus tempo hari, aku semakin penasaran dengan Evano, dengan siapa cewek yang membuatnya tidak mengindahkan siswi-siswi yang mendekatinnya. Itu belum tentu aku, tapi bisa jadi aku. Dan kalau memang aku, betapa jahatnya aku pada Evano. Dia mati-matian menjaga perasaannya untukku, tapi aku justru membuka lebar-lebar kesempatan untuk orang lain mendekatiku.

Beberapa hari pikiran dan batinku berperang soal itu. Kata batinku aku jahat dengan melakukannya. Pikiranku berkata sebaliknya. Selama Evano tidak memberi kepastian apa-apa, aku bebas melakukan apa pun. Aku menuruti pikiranku, memilih bebas, memilih untuk sedikit menjauh dari Kak Aron. Aku menjadi tidak seluwes biasanya untuk menanggapi omongannya. Aku selalu menghindar ketika dia menawariku jemputan dengan dalih Alfa mau menebengiku. Sudah tiga hari dia tidak mengantar jemputku, tapi kami masih berkomunikasi, paling tidak lewat WhatsApp.

Untuk pergi ke pasar malam aku tidak bisa menghindar. Aku sudah berjanji padanya. Aku juga ingin melepas jenuh akibat dari tidak pernah liburan selama ini. Nanti kalau ibu tidak mengizinkan, aku tidak akan bersedih. Aku menaikkan kakiku ke atas kursi lalu menekuknya. Tanganku memukul kepalaku pelan. Semua pertanyaan dan kegalauan itu berenang di kepalaku.

"Ulfa." Aku mendongak, kaget tiba-tiba ada yang datang. "Kamu nggak stres, kan?" tanya wanita itu. Dia membawa pakaian seplastik merah besar.

"Eh, nggaklah, Bu." Dia tetanggaku. Aku segera berdiri dan melayaninya. Sebelum dia pergi, aku memintanya agar tidak berbicara pada ibu tentang apa yang dia lihat.

***

Kak Aron datang sesuai waktu yang dia katakan. Ibu mengizinkan aku pergi dengan mudah sore tadi, apalagi ayah. Aku tidak mengatakannya di depan Lala, khawatir dia akan meminta apa-apa. Aku juga menyuruh orang tuaku berbohong tentang ke mana aku akan pergi malam ini.

Aku memakai celana kulot warna krem. Atasanku berupa kaus pendek berwarna putih lalu kubalut jaket berwarna sama seperti celanaku. Aku memakai tas serempang berwarna hitam yang hanya berisi handphone dan dompet, tentunya berisi uang.

Kak Aron membayar tiket masukku dan dia. Katanya semua yang menjadi kebutuhanku dan dia akan dia bayari malam ini. Aku agak keberatan, menduga dengan kuat pasti Kak Aron punya maksud lain. Supaya aku tambah mengaguminya mungkin. Bisa jadi saja, kan?

"Kak Aron udah makan? Tadi kayaknya barusan pulang dari kampus, terus nggak lama gitu berangkat," kataku setelah kami berhasil melewati penjaga tiket. Sudah banyak manusia mengerumuni tempat penuh warna ini. Aku menghirup udara banyak-banyak. Aroma makanan-makanan tercium oleh hidungku.

"Belum, Fa. Kamu udah? Kalau belum, ayo kita makan dulu." Aku mengangguk. Sebenarnya aku sudah merasakan masakan ibu sehabis Magrib tadi, tapi sedikit. Sengaja seperti itu karena aku ingin merasakan makanan di luar.

Aku berjalan di samping kiri Kak Aron. Kedua tanganku masuk ke dalam saku jaket. Tangannya bertaut di belakang punggungnya. Kami diam dan terus berjalan pelan. Aku memperhatikan sisi kiriku. Penjual kebab saja tidak hanya satu. "Kita mau makan apa?" Aku bertanya, teringat kami belum membahasnya tadi.

Kak Aron tidak jauh berbeda dengan mahasiswa lain yang kutahu dari cerita online yang kubaca. Urusan mengisi perut, dia juga memilih yang paling murah, tapi bukan mi instan, melainkan nasi goreng.

Selain suara orang-orang, suara sound turut meramikan tempat itu. Namun suara sound itu nyaris tenggelam. Samar-samar aku mendengar lagu milik Arsy Widianto mengalun, tapi tidak yakin kalau memang lagu itu yang sedang diputar tukang sate di seberang sana. Aku menoleh ke kiri untuk melihat pemandangan lain.

"Eh, Kak Aron ngapain?" Aku terkejut ketika mendapatinya tengah tersenyum menatapku. Senyumnya terlihat tulus dan aneh dalam waktu bersamaan. Bukan sesuatu yang salah sebenarnya, tapi aku merasa aneh. Sudah berapa lama dia melakukannya?

"Sudah lama aku pingin kayak gini, Ulfa," katanya. Dia mendongak, aku mengikutinya. Langit sedang berbintang sekarang. "Duduk berdua sama kamu, di keramaian, di tempat terbuka." Aku kembali menatap bumi dengan raut bingung. Untungnya tukang nasi goreng yang kutunggu-tunggu akhirnya datang sehingga aku bisa menghindari situasi aneh itu tanpa harus beralasan.

Angin berhembus dari sebelah kiriku saat aku memasukkan suapan pertama ke dalam mulut. Hawa aneh mengitari sekelilingku tiba-tiba, seperti memberi sinyal kalau malam ini tidak akan berjalan baik. "Perasaanmu aja kali." Aku menoleh pada pembeli nasi goreng di sampingku.

Dia benar. Itu mungkin hanya perasaanku. Aku kembali mengunyah nasi goreng hangat di depanku sambil mengenyahkan pikiran tidak jelas ini. Tidak mungkin hidupku yang selama ini tenang-tenang saja tiba-tiba harus berurusan dengan kemistisan. Nyaris tidak mungkin. Aku percaya pada diriku.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang