"Ulfa, bangun."
Aku merasakan tangan seseorang menepuk-nepuk lenganku. Mataku terbuka dengan cepat. Pandanganku langsung tertuju pada genting kaca kamarku yang menampakkan langit di luar, warnanya sudah agak terang.
"Tuh, kan, Bu. Kalau banguninnya pakai cara yang lembut, orangnya bakal bangun," ujar ayah. Aku langsung bangun dari posisi berbaring, langsung ingat tugas wajibku setiap pagi, dan aku hampir melewatkannya.
"Ya mana Ibu tahu, Yah. Lagian aneh banget. Diteriakin keras-keras malah budek, giliran dipanggil pakek suara sekeras suara semut aja bangun." Ibu menampakkan ekspresi kesal sebelum keluar dari kamarku. Aku yang tidak tahu apa-apa—dan tidak ingin tahu apa-apa—segera beranjak ke kamar mandi dengan jantung memompa cepat, lalu membersihkan semua kotoran di mulut dan di wajah.
Aku masih ingin tidur satu jam lagi saja.
Semalam aku baru pergi ke tempat tidur sekitar pukul sepuluh kurang beberapa menit. Bukan karena aku mau, tapi karena ada tugas sekolah yang mau tidak mau harus aku kerjakan. Sudah membaca doa, melakukan tips-tips agar cepat tidur, tapi tetap saja mataku sulit terpejam karena pikiranku terus dibayangi pesan singkat yang aku dapatkan sore kemarin. Aku tidak membalasnya. Selain karena tidak mempunyai pulsa, aku tidak percaya—
"Ulfa! Jangan dilama-lamain!"
—kebenaran isi SMS itu.
Ibu sudah berteriak lagi. Aku mendesah sambil menggosok gigi lebih cepat. Gusiku berdarah karena itu. Tidak apa-apa, itu tidak terasa menyakitkan dibanding telingaku yang terus-menerus mendengar teriakan demi teriakan ibu sepanjang umurku.
Ayah sudah siap di motornya begitu aku sampai di luar rumah. Mesinnya sudah menyala. Aku memasukkan dompet ibu dan daftar belanjaan yang harus dibeli ke dalam tas belanjaan. Kukaitkan tali helm karena jalan yang akan kulewati nanti terdapat pos polisinya. Mereka jelas belum berjaga di posnya, tapi di jalan itu ada cctv. Dari situ polisi bisa tahu siapa saja yang melanggar lalu lintas. Entah bagaimana caranya mereka menemukan orangnya.
Omong-omong, polisi di kotaku sangat menegakkan aturan. Meskipun ada orang mengendarai motor dari titik satu ke titik lain yang jaraknya tidak jauh tanpa memakai helm, tetap kena tilang. Aku sendiri menyaksikan kejadian itu beberapa bulan yang lalu saat aku sedang dalam perjalan pulang sekolah.
Tidak jarang aku melihat banyak orang di sekitar jalan itu mengendarai sepeda atau berjalan kaki. Pasti mereka menghindari hukuman polisi."Kamu masih ngantuk, Fa," ujar ayah.
Aku melihatnya dari kaca spion. Mataku kupaksa terbuka. Aku melihat wajahku. Memang terlihat sekali wajah mengantuk ini. "Tadi malam tidur jam berapa? Apa benar kata Ibu kalau kamu main hape sampai larut malam?"Aku menggeleng cepat, niatku begitu, tapi helm ini memperlambat gerakanku. Cukup ibu saja yang memandangku buruk. Ayah tidak boleh memandangku seperti itu juga. "Aku pernah ngelakuin, tapi nggak sering, kok. Tadi malam juga nggak. Aku cuma susah tidur."
"Kenapa? Mikirin apa? Ada masalah di sekolah?" tanyanya dengan memberi jeda setiap ganti pertanyaan.
"Nggak," ujarku dengan ekspresi tidak setuju. Baru juga dua hari aku masuk sekolah setelah libur panjang, mana mungkin ada masalah datang secepat itu. Mungkin nanti ada dan itu tidak jauh-jauh dari aku yang stres gara-gara nggak-paham pelajaran. Eh, tapi jangan, deh.
"Emang masalah kalau muncul lihat-lihat sikon orang yang bakal dia kenai? Banyak, loh, orang-orang yang lagi di kondisi terpuruk pun harus nerima masalah lagi."
Motor ayah berbelok. Dia tampak berkonsentrasi mengendarai motornya. Lima meter lagi kami harus berjalan, kami dipastikan sampai di tempat tujuan. "Jadi gimana? Apa beneran ada masalah di sekolah atau apa yang bikin kamu susah tidur?" tanya ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Dla nastolatkówTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...