17) Kebohongan Besar

0 1 0
                                        

Sebelum berangkat tadi aku bilang aku tidak akan tenang di sekolah karena ibu masih marah padaku. Ya, aku tidak tenang, tapi bukan itu alasannya.

Evano. Lagi-lagi karena dia. Kapan, sih, nama itu bisa hilang dari kehidupanku? Rasanya semua usahaku melupakannya sia-sia. Aku juga sudah membuka diri pada orang baru, tapi kenapa dia masih saja ada? Kenapa juga aku harus bertemu dia tadi? Kenapa jantung ini masih berdetak lebih cepat saat dia ada. Lebih menyebalkannya, aku tidak tahu isi batinnya selama ini. Huh!

"Ulfa!" Aku terperanjat sampai berdiri segala. Teman-temanku yang duduk melingkar di depanku menatapku heran.

"Kamu ngelamunin apa?" tanya Guntur yang duduk tepat di seberang depanku. Aku kembali duduk sambil meringis malu-malu. Di dalam hati, aku merutuki diriku. Bisa-bisanya aku sama sekali tidak memperhatikan teman-temanku berdiskusi.

Aku tidak menjawab tanya Guntur, langsung meminta maaf pada mereka. Bukannya memaafkanku, Guntur malah bertanya. "Kenapa? Ada apa? Selesaiin masalahmu dulu, cerita sama kita, siapa tahu kita bisa bantu daripada masalah itu ganggu kamu kayak tadi."

"Nggak usah. Masalah ini pribadi banget, nggak bisa aku ceritain. Aku minta maaf sekali lagi. Habis ini aku janji aku bakal fokus." Aku meyakinkan mereka, begitu juga ekspesiku. Seingatku, terakhir kali kami membahas yel-yel pembuka. Aku memastikan pada teman-teman. Ternyata mereka setuju dengan usul Guntur, mereka tinggal menunggu persetujuanku.

Kami melakukan simulasi. Fara, sekretaris suporter menghadapkan laptop yang dia bawa kepadaku. Ehm, ini seharusnya tidak sulit. "Smatajaaar!" Suaraku menggema di aula tanpa aku berteriak keras.

"Terkenal kompak-e!" Teman-teman kompak menjawabnya. Smatajar adalah kependekan dari SMA Taman Pelajar, nama sekolahku. Kompak-e, "e" di situ dalam bahasa Jawa berarti "nya", yang kalau digabung menjadi kompaknya. Kami ingin dikenal kompak oleh anak-anak SMA lain yang mengikuti perlombaan itu. Selama perlombaan nanti kami harus menjunjung satu kata itu yang seharusnya juga berlaku setelah perlombaan. Aku akan menyampaikan itu nanti.

"Begiiin!" Cukup sampai di situ. Sebenarnya lagu selanjutnya yang harus kami nyanyikan sudah ada. Fara juga sudah mengetiknya. Kami tidak mungkin menyanyikannya saat ini. Hanya Guntur dan dua temannya yang tahu bagaimana nadanya dan hafal lirik serta gerakannya. Lagu itu diambil dari yel-yel SD mereka.

Kami berdiri membentuk tiga lingkaran berukuran sedang dengan cepat. Guntur, Burhan, dan Meli masuk ke dalam tiga lingkaran yang berbeda. Di lingkaranku ada Meli. Dia tiba-tiba ke luar lingkaran setelah berbicara dengan teman sekelasku. Rupanya dia ingin mengumpulkan perhatian kami.

"Tadi kan kita bilang 'terkenal kompak-eee'," ujarnya dengan nada. Lingkaran yang aku dan teman-teman buat tidak lagi berbentuk lingkaran. Ada celah di salah satu sisi lingkaran agar kami bisa melihat siapa yang berbicara dan mendengar lebih jelas. "Lagu ini adalah pembuktian kalok kita bener-bener kompak. Jadi plis latihan yang serius."

Aku menatap berjalannya Meli ke dalam lingkaranku. Dia terlihat lebih cocok menjadi ketua suporter daripada aku. Belum apa-apa aku sudah melamun tidak penting tadi. Payah! "Kenapa, Mel?" tanyaku pada Meli. Dia bukannya segera memulai latihan malah mendekatiku.

"Sori, aku nggak maksud sok jadi ketua tadi. Aku cuma mau ngasih tahu itu aja. Jangan kesinggung, ya, Fa." Aku hampir tertawa, tapi tidak jadi. Kami mulai latihan setelah aku mengatakan perbuatannya tadi sama sekali tidak menyinggungku. Aku mendapat isi sambutan lagi untuk nanti.

Lagu yang akan kami nyanyikan itu berbahasa Inggris. Guntur, Burhan, dan Meli mengusulkan lagu itu karena mereka yakin tidak ada yang mengenalinya. Mereka yakin warga SD mereka saja tidak banyak yang mengenali lagu itu. Singkatannya karena lagu itu mereka bertiga pelajari di suatu acara khusus saat mereka kelas lima dan acara itu hanya ada ketika periode mereka.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang