12 | Puncak Penderitaan

107 14 14
                                    

Jangan lupa vote and comment yaa...

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝



≪━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫

Keesokan harinya, adalah ujian hari ketiga. Ernita datang sendirian ke sekolah. Kemudian, ia langsung membuka bukunya. Ia tahu apa yang akan terjadi padanya. Maka dari itu, ia sengaja berangkat pagi agar ketika ia datang tidak langsung disindir sama seperti waktu ia kelas enam dulu.

Sepuluh menit kemudian, geng Yuri datang. Mereka meletakkan tas di bangku di koridor kelas. Kemudian, langsung duduk mengobrol sambil basa-basi.

Saat bel berbunyi, semua peserta di ruangan tiga masuk. Kebetulan, Ernita duduk paling sudut di sebelah kiri belakang dan sangat jauh dari geng Yuri. Kakak sepupunya bernama Joan juga ada di ruangan itu. Sehingga, Ernita merasa sedikit terlindungi.

Tiba-tiba, Yuri melontarkan sesuatu yang bermaksud menyindir Ernita.

“Tapi, loh, Sa, siapa yang gak sakit hatinya dibentak begitu? Bayangin aja, ya, gue datang ke rumahnya baik-baik, nanyain dia baik-baik. Tapi, ibunya malah bentak-bentak gue kayak gitu. Ya gue sakit hati, lah. Rasanya pengen nangis. Makannya, gue langsung pulang aja. Gak bisa ngertiin orang, apa gimana, sih, itu ibunya?! Sukanya bentak-bentak. Padahal, gue tanyanya baik-baik,” ceplos Yuri dengan nada keras—hingga satu ruangan terdengar, karena ia duduk di kursi paling depan sendiri sambil melirik ke arah Ernita.

Ernita menatap Yuri yang berkata demikian. Setelah itu, ia langsung menunduk. Tepat! Apa yang aku pikirkan kemarin, yang aku takutkan benar-benar terjadi.

Intuisi Ernita tepat, seperti apa yang ia rasakan kemarin. Yuri benar-benar membahas masalah ini. Joan sedikit peka akan situasi yang ada, karena ia sedikit punya kelebihan juga. Ia langsung menatap Ernita dan rasa kasihan, karena Ernita selalu menerima perlakuan yang kurang baik.

Ernita menyadari bahwa dirinya tengah diperhatikan oleh Joan. Akan tetapi, ia mengabaikannya karena perkataan Yuri masih terngiang-ngiang di telinganya.

***

Waktu istirahat telah tiba. Ernita tetap sendirian. Sambil menunggu jam ujian ketiga dimulai, ia membaca buku di dalam kelas. Tiba-tiba, terdengar obrolan Vita dan juga Yuri bersama beberapa gengnya di koridor depan ruang tiga.

Sesaat kemudian, Valen datang menemui Ernita.

“Er!”

“Valen? Lu kenapa ke sini?”

“Er, gua mau nanya sama lu.”

“Tanya apa? Eh, bentar. Kalau lu ke sini dan ketahuan Yuri, gimana? Udah, lu buruan pergi aja,” suruh Ernita.

“Ntar, gua mau tanya. Sebenernya, ada masalah apa, sih, antara lu sama Yuri?” tanya Valen sambil duduk di kursi depan Ernita.

“Kenapa lu tanya gitu?”

“Tadi gua gak sengaja denger, katanya—Mbak Vita sama Yuri mau ngelabrak lu.”

“Ha?! Cuma karena masalah sepele, sampai mau main labrak gua?” tanya Ernita heran.

“Makanya itu, gua tanya sama lu, lu punya masalah apa sama dia?”

“Sebenernya, sih, gua gak tau ini bener apa enggak. Perkiraan gua, si Yuri melebih-lebihkan omongan gitu.”

“Maksudnya gimana?”

“Jadi, kemarin sore itu gua lagi nyapu di dalam rumah. Kebetulan, ibu sama nenek gua lagi duduk depan rumah. Terus, Yuri datang ke rumah gua—nanya ke ibu gua, gua ada apa nggak. Sama ibu gua dijawab dengan suara pelan dan nggak bentak-bentak, kalau gua ada di dalam lagi nyapu. Belum selesai ibu gua ngejawab, eh, itu si Yuri langsung motong jawaban ibu gua. Tadi aja pas di kelas, dia nyindir gua. Padahal, ibu gua gak bentak dia sama sekali. Orang gua denger sendiri gimana ibu gua pas ngejawab. Dia sering memutarbalikkan fakta supaya dapat simpati dari orang lain dan berlagak seolah dia itu maha benar.”

“Oalah, karena masa sepele kayak gitu aja, dipermasalahin. Kalau gua jadi dia, malulah gua. Apalagi dia itu memutarbalikkan fakta. Bener-bener keterlaluan. Tadi itu, gua denger, 'kan—katanya, Yuri itu bilang ke Mbak Vita. Katanya, ibu lu itu ngejawab dia sambil bentak-bentak gitu. Terus, dia rencananya mau ngelabrak lu. Tapi, gak tau beneran jadi apa enggak.”

“Udah, Len, lu tenang aja, ya. Gua gak papa, kok. Gua tunggu aja. Kalau nanti mereka ngelabrak, gua bakal hadapin mereka. Gua gak takut sama mereka. Gua gak takut karena gua emang gak salah. Hanya karena gua gak  punya temen, bukan berarti gue takut dengan segala omongan Yuri. ”

“Serius, lu mau hadepin sendirian? Apa mau gua bantu?” tawar Valen.

“Udah, gak usah repot-repot. Gua udah makasih banget karena lu udah ngasih informasi. Gua gak mau karena masalah gua, lu jadi keseret juga. Udah, sekarang, mendingan lu keluar aja, ya. Sebelum mereka datang, dan thanks, ya.”

“Hmm ya udah kalau gitu, gua pergi dulu, ya,” pamit Valen.

Ernita hanya mengangguk.

Di kelas, Ernita menunggu kedatangan geng Yuri. Namun, tak kunjung datang juga.

“Strateginya diganti kali, ya? Gak jadi pakek metode labrak,” gumam Ernita.

Tiba-tiba, datang dua geng masuk ke dalam kelas. Bukannya melabrak, mereka malah menyindir Ernita habis-habisan. Teman-teman Ernita pun turut menjauhi Ernita, kecuali geng Martha.

Merasa tak nyaman dengan itu semua, Ernita langsung keluar kelas dan duduk di koridor kelas. Kebetulan, di bangku tersebut hanya ada Martha sendiri. Ernita pun langsung duduk tanpa berucap.

Beberapa menit kemudian setelah mereka saling membisu, Martha membuka obrolan.

“Er, kenapa kamu di sini sendiri? Kenapa nggak sama temen-temen yang lain?”

“Nggak papa, Tha. Gua emang lagi mau sendiri aja.”

Martha sebenarnya mengerti apa yang Ernita rasakan. Akan tetapi, ia berpura-pura tidak mengetahuinya dan pura-pura bertanya apa yang sedang terjadi.

“Udah, nggak papa, cerita aja sama aku, barangkali bisa bantu. Percaya sama aku, aku nggak akan bilang ke siapa-siapa, kok,” ucap Martha sambil tersenyum.

“Bentar. Kenapa lu mau temenan sama gua? Padahal, gak ada satu pun dari anak-anak yang mau temenan sama gua.”

“Ya karena aku tahu, kamu nggak salah. Er, udah, kamu cerita aja sama aku,” bujuk Martha.

Ernita pun menjelaskan semua yang terjadi sebenarnya.

“Kok bisa gitu. Kenapa harus kamu?”

Belum sempat Ernita menjawab, Martha langsung meneruskan ucapannya. Karena ia merasa, bahwa Yuri dan Vita sebentar lagi akan keluar kelas.

“Sebentar, gak usah dijawab! Nanti aja kamu ke rumahku. Kita ngobrol di rumah. Di sini nggak aman. Bentar lagi mereka bakal keluar kelas. Sekarang, aku pergi dulu, ya.”

“Iya, thanks, ya.”

Martha pun pergi menghampiri gengnya dan meninggalkan Ernita sendirian.

Bagaimana mungkin Martha bisa ngerti kalau gua gak salah, dan dia bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi?

╔═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• • B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝

See you next part😍 ....

Salam,
Eryun Nita

My Best Friends [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang