Jangan lupa vote and comment yaa...
╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝
•
•
•
≪━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫“Jadi, apakah hanya ini jalan satu-satunya?”
“Iya. Kalau kamu nggak mau mengakhiri hubungan ini, apa kamu rela orang tua kamu menderita?”
“Nggak! Tentu aja aku nggak rela melihat bapak sama ibuku menderita. Mereka udah suami istri. Pastinya, rasa sayang dan cinta mereka lebih dalam dari rasa sayang dan cinta di antara kita. Aku nggak bisa ngebayangin kalau salah satu dari mereka itu nggak ada, pasti salah satu dari mereka akan merasa sangat kehilangan. Mereka akan menangis dan bersedih. Mereka merasa bahwa sebagian dari hidup mereka telah hilang. Nanti kalau adik udah dewasa udah mulai mengerti dan bertanya tentang ibu atau bapak ke mana, apakah aku harus menjawab bahwa salah satu dari mereka tidak ada karena keegoisanku? Tentu aja aku nggak mau itu terjadi. Aku sayang keluargaku. Aku nggak bisa melihat mereka menderita. Apalagi melihat salah satu dari mereka kehilangan. Cukup aku yang kehilangan, cukup aku yang menangis. Tapi, mereka jangan.”
Air mata Ernita mulai menetes membasahi pipinya. Ia tak bisa membendungnya lebih lama lagi.
“Iya sayang, aku paham. Tindakan yang kamu ambil adalah benar. Itu membuktikan bahwa kamu lebih menyayangi orang tua kamu daripada aku, dan itu yang aku mau. Aku yakin kamu kuat, kamu pasti bisa melewati ini semua, aku yakin itu.”
“Tapi, terlalu berat untuk aku. Rasanya, aku seperti kehilangan sebagian hidupku.”
“Sayang, ini udah jadi kehendak yang di atas. Mau nggak mau, kita harus terima. Kita tidak bisa menentangnya. Aku tahu, ada takdir yang bisa diubah. Tapi, ada juga yang tidak bisa diubah, salah satunya masalah ini. Ini jalan satu-satunya. Apa kamu ikhlas?”
Ernita kembali menghela napas panjang.
“Bismillah ... aku yakin aku pasti bisa menjalani semua. Aku yakin aku pasti kuat.”
“Ya udah, kalau gitu, habis ini aku mau pamit, ya. Kamu sekolahnya yang rajin. Kamu ingin jadi guru, 'kan? Kamu harus kejar cita-cita kamu. Jangan sampai lupa, kamu sekarang sudah hijrah. Kamu jaga itu baik-baik, ya. Jangan sampai lupa salat, jangan sampai telat makan, jaga kesehatan.”
“Iya, kamu juga, ya. Sekolah juga yang rajin, jangan telat makan juga.”
Dito mengangguk sambil tersenyum.
“Apa kamu bakal tetep balapan lagi?”
“Aku nggak bisa janji kalau aku akan berhenti dari balapan. Karena kamu sendiri juga tahu, kalau aku lagi melampiaskan emosi kayak apa.”
“Ya udah, aku nggak ngelarang kamu mau balapan lagi. Yang penting, kamu hati-hati, ya. Jangan sampai kamu ada apa-apa di jalan.”
“Iya, kamu tenang aja ... dan oh ya, kamu tenang aja. Aku nggak akan memilih salah satu dari perempuan yang dulu pernah datang di kehidupan aku. Aku nggak akan memilih salah satu dari mereka, kok. Aku akan menutup hati, dan fokus untuk sekolah serta masa depan. Untuk sementara waktu, aku nggak mau mikirin masalah perempuan dulu.”
“Iya, aku paham. Tapi, seandainya kamu mau bersama dengan salah satu dari mereka atau mencari perempuan lagi, aku nggak masalah. Asalkan kamu bahagia, aku juga bahagia, kok.”
“Iya, tapi, aku nggak akan gitu. Kamu ingat kata-kataku, ya. Suatu saat, akan ada seorang lelaki yang datang di kehidupan kamu. Dia lebih baik daripada aku. Dia bisa membuat kamu selalu bahagia, nggak pernah membuat kamu nangis—seperti yang sering aku lakuin ke kamu.”
“Nggak mungkin! Itu nggak mungkin? Aku nyari orang kayak kamu aja rasanya udah sulit nggak banget. Apalagi yang lebih baik dari kamu. Itu sangat mustahil.”
“Inget, ya. Nggak ada yang mustahil di dunia ini jika Allah telah berkehendak. Kamu percaya sama aku, ya. Nanti kalau waktunya udah tiba, kamu pasti akan kenal dengan orang itu.”
“Siapa dia? Siapa namanya? Bagaimana aku bisa kenal dia? Kapan aku akan kenal dia?”
“Aku nggak bisa ngasih tau sekarang. Biar waktu yang menjawab. Aku pun belum tahu anaknya. Tapi, dia pasti datang ke kehidupan kamu. Kamu tunggu aja. Intinya, dia akan membuat kamu bahagia, lebih dari apa yang pernah aku perbuat ke kamu. Dia akan membuat kamu tersenyum.”
“Ya udah. Aku mau kisah kita aku jadiin novel. Nggak papa, 'kan?”
“Oh, kamu buat cerita cinta kita jadi novel?”
“Iya,” jawab Ernita sambil mengangguk sedih dengan air mata yang masih berjatuhan.
“Ya udah, terserah kamu. Yang penting ingat, jangan pernah menceritakan kisah kita senyata mungkin. Kamu beri sedikit imbuhan yang sekiranya itu imajinasi kamu. Takutnya, ada pihak-pihak lain yang tidak setuju.”
“Iya, aku tahu.”
“Ya udah, aku pamit. Kamu jaga diri baik-baik. Kamu harus bisa melindungi dari kamu sendiri. Kalau kamu nggak kuat menganggap aku sebagai teman, anggap aja sebagai kakak. Kita masih bisa chat-an, kok. Oh ya, masalah postingan di Facebook itu biarin aja, nggak usah dihapus. Tapi, kalau kenangan kita di galeri, hapus aja semua foto dan video yang pernah kita buat selama kita pacaran. Karena aku mendapat pertanda, jika semua itu tetap kita simpan, akan ada menjadi bencana kedepannya. Tapi kalau postingan di medsos itu, biarin aja."
“Iya. Makasih juga, ya, buat semua yang udah kamu kasih ke aku selama ini.”
“Iya, sama-sama. Makasih juga atas apa yang udah kamu kasih ke aku selama ini. Ya udah, aku pulang dulu, ya.”
“Iya, Mas, hati-hati.”
“Assalamualaikum.”
“Wa'alaikumussalam.”
Deg!
Hancur hati Ernita ketika kembali memanggil Dito dengan sebutan 'mas' dan bukan 'sayang' lagi seperti saat pertama kenal dulu. Kini, berderai kembali air mata Ernita ketika melihat Dito berlalu dari hadapannya.
Ketika Dito selesai berpamitan dengan keluarga Ernita, Dito menaiki motor dan memakai helm. Ernita hanya bisa melihatnya dari serambi depan. Kemudian, ia melihat Dito berlalu pergi dari rumahnya.
Ia tidak tahu, apakah ini akan menjadi terakhir kali Dito pergi ke rumahnya, ataukah suatu saat Dito masih akan bermain sebagai teman. Ernita juga tak tahu.
Saat Dito telah terlalu dari rumahnya, Ernita segera berlari menuju kamarnya. Ia menangis sejati sejadi-jadinya—hingga matanya sembab, hidungnya merah, sampai tak kuat untuk berbicara lagi.
Kenapa kenapa harus seperti nasibku? Aku kehilangan orang yang aku sayang untuk ketiga kalinya. Aku sudah muak dengan yang namanya pacaran. Ini akan menjadi terakhir kalinya aku pacaran! Setelah ini, jika ada yang mengajak pacaran, akan aku tolak. Akan tetapi, jika ia mengajak komitmen dan serius sama aku, aku akan menerimanya. Mulai sekarang, aku juga akan berhati-hati dalam memilih laki-laki, karena aku tidak mau peristiwa ini terjadi lagi. Hatiku hanya ada satu. Kalau rusak, tidak ada penggantinya. Hatiku juga bukan boneka, yang bisa dibuat mainan oleh lelaki sesuka hatinya. Aku harus menjaganya dengan baik dan memilih sosok lelaki yang benar-benar baik juga.
Hanya air mata yang mampu meluapkan emosi Ernita. Apakah ini akan menjadi akhir dari semua perjuangan cinta Ernita? Atau justru akan menjadi awal bagi perjalanan cinta Ernita?
╔═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• • B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Bagus nggak? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa.... Karena itu gratis.See you next part😍...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Best Friends [End]
Teen FictionSahabat itu datang saat dibutuhkan, bukan datang hanya saat membutuhkan saja. *** Apa yang terlintas di benak kalian, jika mendengar kata teman dan sahabat? Sepintas terlihat sama, bukan? Padahal, k...