Jangan lupa vote and comment yaa...
╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝
•
•
•
≪━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫Pulang sekolah, Ernita pamit pada ibunya, bahwa ia hendak pergi ke rumah Martha, dan ibunya pun mengizinkan.
Sesampainya di rumah Martha, Ernita sedikit canggung, karena ia hanya pernah pergi ke sana satu kali saja. Sesaat kemudian, Martha melihat motor Ernita telah sampai di halaman rumahnya. Ia segera menyuruh Ernita untuk masuk.
“Er, langsung masuk aja. Pintunya nggak dikunci, kok,” ucap Martha dari dalam rumah sambil memperhatikan Ernita dari jendela.
“Oke.”
Ernita pun langsung masuk lewat pintu belakang, kemudian langsung menghampiri Martha di ruang tamu.
“Tadi, gimana izinnya ke ibu?” tanya Martha sambil duduk dan memegang ponsel.
“Ya bilang kalau gua mau ke sini.”
“Terus, langsung dibolehin, gitu?”
“Alhamdulillah, sih, iya.”
“Ya udah, kamu duduk aja dulu. Aku mau ngambil minum bentar.”
“Eh, gak usah. Gak usah repot-repot. Gua gak haus, kok,” larang Ernita.
“Udah, diem! Di sini, aku yang punya rumah. Jadi, aku yang menentukan, bukan kamu, Er,” bantah Martha sambil menahan tawa.
Ernita pun duduk. Setelah mengambil air minum dan juga beberapa cemilan, Martha duduk di ruang tamu bersama Ernita.
“Jadi, sebenarnya gimana, sih, itu ceritanya? Kalau misalnya Fifi beneran yang ngadu domba, kenapa dia ngadu domba kamu sama Yuri? Kalau Yuri juga asli benci, apa alasan Yuri juga benci sama kamu? Kenapa harus kamu?” Pertanyaan Martha beruntun, membuat Ernita bingung harus menjawab yang mana dulu.
“Jadi, awalnya dulu itu waktu di SD, 'kan ada acara hari pahlawan. Terus, Yuri itu ngajak pakai baju adat Bali, dan semua anak tuh setuju. Sedangkan, gua itu gak punya. Akhirnya, gua pakai baju adat Jawa kek R. A. Kartini gitu. Nah, pas momen itu dimanfaatkan Fifi buat mempengaruhi Yuri. Yuri itu kayak kesel, karena gua gak nurutin kemauan dia. Terus, dia mempengaruhi temen-temen yang lain itu buat ngejauhin gua, dan akhirnya, semua tuh setuju. Cuma Riris doang yang diam-diam masih baik sama nolongin gua gitu.”
“Oh ... gitu, ya? Terus?”
“Otomatis 'kan, Fifi juga ikut sama Yuri. Dia gak mau gabung sama gua. Dia tuh emang licik, 'kan, anaknya. Jadi, dia tuh diam-diam gak suka ngelihat gua bahagia. Mungkin karena iri, dan bisa jadi, dia itu iri karena dia tuh gak bisa di posisi gua yang sering peringkat satu, dan disenangi guru-guru. Dari situ, Yuri pun juga iri sama gua. Si Fifi itu, caranya lebih pintar daripada Yuri. Akhirnya, karena Fifi itu juga ngerti kalau Yuri itu benci dan iri sama gua, dia tuh bilang ke Yuri yang enggak-enggak tentang gua—biar Yuri benci gua gitu. Makanya, waktu di SD gua gak punya temen.”
Martha tampak serius menyimak penjelasan Ernita.
“Menginjak SMP, gua tuh pengen banget pisah dari mereka. Awalnya, yang ke SMP PGRI itu, cuman gua sendiri. Ya gua senang, karena gak ada mereka. Tahu-tahunya, waktu MOS mereka ikutan. 'Kan gua kaget tuh. Selama beberapa bulan kelas tujuh, baik-baik aja keadaannya. Ternyata, pas mau menjelang akhir tahun ini Fifi berulah lagi sama si Yuri. Entahlah, mereka tuh kayak gak ada berhentinya gitu, loh, bikin ulah sama gua. Gua juga gak ngerti kenapa mereka selalu iri sama gua,” jelas Ernita panjang lebar.
“Ya karena mereka itu nggak bisa jadi kayak kamu. Mungkin, mereka ngelakuin ini itu sebagai pelampiasan gitu," jawab Martha sambil meminum tehnya perlahan.
“Ya tapi, gak gini juga caranya. Kalau emang mereka iri sama gua, harusnya, mereka tuh bilang. Kalau mereka minta diajarin waktu belajar, gua siap. Gak harus dengan cara ngadu domba dan jelek-jelekin gua di mata orang lain. Sekarang, gua kayak gak punya harga diri di sekolah. Harga diri gua rasanya jatuh. Untung aja, cuma terdengar ke telinga anak-anak doang. Coba kalau ke guru-guru, bisa-bisa gua kena sp, dan mungkin, orang tua gua juga dipanggil ke kantor,” sarkas Ernita.
“Terus, itu, sekarang gimana akhirnya?”
“Ya kayak gini keadaannya. Sekarang, gua udah gak ada temen lagi. Udah sejak dua minggu yang lalu malahan. Kadang kalau mereka ngajak gua gabung di geng mereka, itu karena mereka merasa kalau butuh gua. Atau gak gitu, karena gua disuruh ngapain, seperti ngerjain PR Matematika, dan tugas mereka gitu. Kalau udah gak butuh, ya gua langsung diabaikan gitu. Mereka tuh seperti teman, bukan sahabat. Lama-lama kayaknya bakal jadi lawan. Sekarang, gua di kelas selalu sendirian. Karena anak-anak selain geng lu gak ada yang berani deketin gua, karena mereka takut sama Yuri. Ya cuma geng lu aja, yang berani deket sama gua.”
“Gini, ya, Er. Kalau aku pribadi, aku emang gak mau ikut-ikutan kayak mengucilkan anak, kalau aku nggak ngerti mana yang benar mana yang salah, apalagi kalau yang salah. Kalau aku ngerti itu salah, kenapa aku harus nurut dia—dengan nggak nemenin kamu dan ngucilin kamu? Aku tau kamu yang benar. Makanya, aku masih mau temenan sama kamu. Kamu tunggu aja, lambat laun pasti semua bakal terbongkar.”
“Iya, sih, gua tau. Tapi, sekarang, gua ngerasa kalau gua kembali lagi ke masa gua dikucilkan lagi kayak SD dulu. Yaa meskipun masih ada anak kayak lu sama geng lu yang mau menerima gua, tapi, tetep aja, di sekolah kita harus sembunyi-sembunyi gitu. Gua rasanya pengen pindah beneran,” ucap Ernita terlihat putus asa.
“Jangan gitu. Suatu saat, sekolah pasti bakal butuhin kamu. Prestasi kamu bagus sekali. Sekolah akan melarang kamu buat pindah. Sekarang gini aja, kalau kamu beneran nggak ada temennya, kamu gabung sama aku dan anak-anak aja, gimana? Thia, Widia, sama Rinya, mereka selalu nurut sama aku. Meskipun aku bisa dikatakan pemimpinnya geng, tapi, aku nggak bersikap kayak Yuri. Aku malah berusaha melindungi mereka kalau ada apa-apa sama mereka. Mungkin, ada kalanya aku seperti nyuruh-nyuruh. Sebenarnya, itu bukan nyuruh. Melainkan, aku cuma minta tolong sama mereka. Tapi, orang lain menganggap itu aku cuma bisa nyuruh-nyuruh, gitu. Udah, kalau kamu nggak ada temennya, gabung aja sama aku. Gimana?” tawar Martha.
“Lu serius? Lu gak keberatan kalau gua ke geng lu? Takutnya, nanti, anak-anak yang lain gak setuju karena ada anggota baru, dan malah iri sama gua.”
“Er, asal kamu tau, ya. Di geng aku, gak ada yang namanya iri kayak gitu. Kalau ada orang tertindas, kami siap menerima. Karena kami tau, gimana rasanya sendirian nggak ada temennya. Kami netral. Kami bakal menerima. Kalau anggota baru itu baik dan terbukti nggak salah, kenapa kami nggak menerima? Udah, mulai besok kamu gabung aja sama aku, ya?”
“Ya udah deh, gua nurut. Sebelumnya, thanks banget, ya.”
“Iya, sama-sama.”
Sejak hari itu, Ernita bergabung bersama Martha. Semua anak perempuan di kelas Ernita turut heran, karena ternyata, geng Martha berani menentang Yuri. Awalnya, Yuri yang mengetahui hal tersebut hanya diam saja sambil mengamati perkembangan. Jika Ernita terus-terusan bergabung dengan Martha, maka, ia tak segan-segan akan bertindak.
╔═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• • B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Bagus nggak? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa ... karena itu gratis.
See you next part😍 ....Salam,
Eryun Nita
KAMU SEDANG MEMBACA
My Best Friends [End]
Teen FictionSahabat itu datang saat dibutuhkan, bukan datang hanya saat membutuhkan saja. *** Apa yang terlintas di benak kalian, jika mendengar kata teman dan sahabat? Sepintas terlihat sama, bukan? Padahal, k...