14 | Sahabat Baru

91 11 0
                                    

Jangan lupa vote and comment yaa...

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝



≪━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫

Hari demi hari Ernita jalani bersama geng Martha. Tak terasa satu minggu lagi tiba waktunya libur panjang. Pulang sekolah, menyuruh Ernita ke rumahnya, karena ia ingin menceritakan suatu hal. Ia merasa bahwa Ernita adalah orang yang bisa memahami keadaannya—yang bisa dijadikan sebagai teman curhat sekaligus memberinya saran.

“Er?”

“Kenapa, Tha?”

“Kamu nanti ada acara, nggak, habis pulang sekolah?”

“Enggak ada, sih, kenapa emangnya?”

“Ke rumahku, ya? Aku pengen ngomong sesuatu. Jenuh Aku di rumah, enggak ada temennya.”

“Ya udah, ntar gua ke sana.”

“Oke, aku tunggu.”

***

Sepulang sekolah, Ernita segera bergegas menuju rumah Martha. Ibunya pun juga mengizinkannya.

Sesampainya di sana, seperti biasa ia masuk lewat pintu belakang, lalu menuju ruang tamu dan menemui Martha yang telah ada di sana.

“Kenapa lu jenuh di rumah?” tanya Ernita tiba-tiba.

“Bentar dulu, ntar aku jelasin.”

Setelah Ernita duduk, Martha seperti biasa mengambil cemilan dan juga minuman. Kemudian, ia kembali ke ruang tamu.

“Jadi, aku itu anak broken home, Er. Ibu aku pergi kerja ke Singapura. Otomatis, aku nggak diperhatiin sama ibu, karena ibu ada di luar negeri, dan nggak bisa secara langsung ngasih perhatian kayak ibu kamu ke kamu. Terus, ayah aku kerjanya juga seperti itulah, kamu tahu sendiri, dan aku tuh nggak pernah dapat kasih sayang dari orang tua. Selama ibuku kerja di luar negeri, ayahku pun kayak bodo amat gitu, sama aku. Pokoknya, dia ngasih uang, ya udah. Habis itu, dibiarin. Makanya, aku tuh jadinya kayak nggak pernah ngerasain kasih orang tua gitu, loh, sejak kecil. Mereka kira, kalau aku dikasih uang aku udah seneng. Padahal, nggak gitu yang sebenarnya. Aku butuh kasih sayang mereka, bukan butuh uang mereka—yang habis dikasih uang terus aku seneng. Bukan gitu ... dan lagi, di selatan rumahku ini, 'kan, ada rumah nenek. Nah, di rumah nenek itu ada engkong, ada mbak—adiknya ibu, sama suaminya mbak. Nenek sama mbak aku itu agak sensitif gitu, loh, sama aku. Mereka tuh kayak nggak suka sama aku. Kadang kalau aku lakuin ini, salah, lakuin itu, salah, aku kayak nggak ada benarnya. Terus, kadang kalau aku gini dikit, mereka tuh suka marah-marah. Kalau nggak gitu, ya mereka sukanya nyindir-nyindir aku gitu. Kalau aku lagi berantem sama ayah, mereka itu ikut campur, terus marahin aku, ngolokin aku, nyindir aku, dan segala macam. 'Kan, aku nggak betah kalau kayak gitu di rumah. Monoton, tiap hari hidup aku cuma gitu aja. Dari SD dulu juga udah gini. Untung aja, sekarang ada kamu, yang mau nemenin aku di saat aku jenuh di rumah, Er,” jelas Martha panjang lebar.

“Jadi, gitu, ya, keseharian lu di rumah? Ya iya, sih, gua paham sendiri gimana rasanya nggak betah di rumah. Apalagi semua orang tuh kayak nggak berpihak pada kita gitu. Kalau lu bosen, lu, 'kan, bisa nonton tv atau nonton Youtube,” saran Ernita.

“Aku udah ngelakuin itu, Er. Tapi, tetep aja. Bosen tau nggak, kalau tiap hari cuma nonton, nonton, dan nonton terus. Tetep aja, omongan mereka tuh terdengar ke telinga aku. Itu aja cuman konflik rumah, belum lagi kalau misal masalah cowok. Ya wajarlah, ya, kalau seusia anak SMP udah punya pacar? Kadang, dia tuh, nyari masalah gitu. 'Kan, otak aku jadi serasa kayak tambah berasap gitu.”

“Ya udah, kalau emang jenuh di rumah, pergi keluar aja. Refreshing ke Keraton atau ke tempat wisata lain. Tempat wisata di sini juga nggak jauh-jauh amat sampai di kota, di daerah sini juga banyak, 'kan?”

“Masalahnya, aku tuh nggak ada temennya. Kamu tahu, 'kan, Widia? Dia kadang harus jagain keponakannya yang masih kecil dan jarang boleh keluar. Terus, Rinya juga jarang bisa keluar, karena harus di rumah ngurus ini itu. Apalagi si Thia, dia sering banget ada job. Paling sering keluar sama cowoknya. Kalau aku pergi sendirian, ya kayak orang hilang, dong. Makannya, sekarang, aku tanya. Kalau misal aku ajak kamu keluar, mau, nggak?”

“Jauh banget apa enggak? Contohnya ke mana?”

“Yang deket-deket aja. Sekiranya yang nggak pakek duit gitu, loh, yang gratis. Yang penting bisa buat refreshing. Jangan di Agrowisata yang wisata petik jambu itu. tiket masuknya mahal. Kalau ke Keraton, kita cuma sampai di taman pinusnya aja, yang di bawah. Nggak usah naik ke Keratonnya. Di sana tiket masuknya emang cuma dua ribu, sih. Tapi, kalau nggak mau bayar, ya nggak usah ke atas. Kalau nggak gitu, kita ke Lembah Indah aja. Di sana sekarang masih tahap pembangunan. Kata anak-anak, sih, di sana nggak bayar. Tapi lumayan kok, bisa nikmatin pemandangan di puncaknya gunung, sama dekat banget sama awan gitu. Gimana?”

“Hmm boleh, deh, kalau itu bisa buat lu lumayan terhibur, karena gua gak ngerti gimana bales kebaikan lu selain dengan cara ini. Lu dah mau nemenin gua sama nerima gua di geng lu aja, gua udah terima kasih banget. Yaa anggap aja, deh, ini sebagai ucapan terima kasih gua ke lu.”

“Udah, santai aja kalau sama aku.”

“Ya udah. Kalau misal lu tiba-tiba ada masalah kayak di rumah atau masalah hubungan dan tiba-tiba bad mood atau gak betah di rumah, lu bilang aja ke gua. Gua sahain gua ke rumah lu buat temenin lu. Atau gak gitu, kita keluar aja, sambil menghirup udara segar. Siapa tau, dengan gitu, lu bisa tenang. Gimana?”

“Serius, nih? Kamu nggak dimarahin sama ibu kamu?”

“Ya gua bilang dong, ke ibu gua, kalau gua ke elu karena alasan yang sebenarnya. Yang penting gak terlalu sering pergi. Gua paling gak bisa bohongin ibu. Ibu gua tuh, selalu ngelarang gua kalau keluar sama Yuri, ataupun sama anak-anak yang nakal. Gua cuma boleh keluar sama anak-anak tertentu aja yang sekiranya baik. Semoga aja, gua boleh kalau sama lu. Ntar, gua izin dulu, deh. Kalau boleh, lu gua kabarin. Gimana?”

“Oke deh. Apa sekarang aja, kita keluar? Mumpung masih jam dua siang, nih. Nanti, pokoknya jam empat sore harus udah di rumah.”

“Okay, yuk, berangkat!”

Setelah itu, mereka berangkat menuju Lembah Indah—yang merupakan tempat wisata paling menakjubkan di daerahnya. Lokasi tak jauh, mungkin hanya sekitar dua belas kilometer saja menuju ke arah puncak gunung.

Di sana, mereka bercerita banyak sekali sambil menikmati pemandangan. Tiba-tiba, Martha mengajak pulang.

“Udah mendung, nih, udah sore juga. Pulang, yuk! Kapan-kapan ke sini lagi kalau ada waktu,” ajak Martha sambil melihat awan yang menggumpal.

“Oh, ya udah, ayo kalau gitu!” Ernita pun setuju.

Mereka pun bergegas untuk pulang menaiki motor Martha.

╔═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• • B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝

Sampai di sini dulu yaa...
See you next part😍...

My Best Friends [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang