Bab 11 | Me In Quarter After Nine

240 37 6
                                    

28 April 2019 

Abu dan biru. Tertawa sembari menangis dan menangis sembari tertawa. Semua yang terjadi tidak akan mudah untuk berterus terang meminta pada seluruh makhluk hidup di dunia ini untuk berperan dalam memahami sebuah perasaan. Terkadang memang benar, tidak ada yang mampu memahami diriku sepenuhnya selain aku. Ya, kini aku percaya. Bahkan orang-orang terdekat yang kuharap juga memahami rasa sakit dan kecewa yang kurasakan, nyatanya hanya sebatas ungkapan kau akan baik-baik saja.

"Kau hanya perlu sediki bertahan lebih lama, Youra."

Kembali pada sisi biru dan melupakan bongkahan abu adalah hal pertama yang kuharapkan setelah aku beranjak dewasa. Kukungan tidak manusiawi yang lantas mengitariku dengan berbagai alasan, berusaha melenyapkan tanpa terlihat bekasnya. Aku sangat kasihan padamu, Youra. Sayangnya kau tidak di lepaskan pada tumpukan bunga lily yang menawan, kau di biarkan berteduh di bawah pohon Manchineel dan menunggu sesuatu menghancurkanmu. Tentu saja, mati itu mudah.

"Ibu, kau tidak mengerti."

"Sudahlah, Youra. Kau jangan berlebihan. Ibu sangat yakin dia pria yang baik."

Derap napasku melambung tidak pernah lega. Sekiranya spektrum cahaya yang menyoroti seluruh presensi yang terduduk, meringkuk memainkan jemari layaknya telah melakukan dosa besar, mampu menyesuaikan barangkali dia tahu bahwa aku membutuhkan kehangatan. Dilupakan oleh makhluk satu-satunya yang kuberikan harapan, menutup mata kala melihatku yang sudah di selimuti sekujur luka tak terlihat. Aku hanya tahu, ibu tidak pernah peduli padaku.

"Kembalilah padanya, Youra. Kau sudah dewasa, Ibu tidak ingin kau selalu merengek dan menangis. Ibu yakin, kau bisa menyelesaikan masalahmu sendiri."

Seandainya menjadi dewasa dalah sebuah ajang olimpiade matematika, aku akan memilih mengundurkan diri dan tereleminasi. Aku tidak ingin menjadi sebuah kebanggan ketika aku dewasa, aku tidak ingin meraih tekanan tidak berakal hanya karena aku telah dewasa, aku membenci pola pikir akan kedewasaan.

Hilangnya kebahagiaanku adalah ketika kakiku yang dipaksa menginjak bara api, ditegakkan untuk terdiam merasakan luka bakar yang perlahan beranjak melumpuhkanku. Bagaimana, apa kedewasaanku tetap terlihat indah? Mengapa tidak ada yang mempercayai bahwa hatiku terluka? Mengapa semua orang hanya menganggap penderitaanku sebagai sesuatu yang berlebihan?

"Baik, Bu. Aku akan bertahan."

—YellowDaylily—

29 Januari 2022 

Terkuliti oleh dunia yang menghitam, di bumbui dengan kotoran kekecewaan tanpa batas. Kusadari pada bagaimana kedua kelopak mataku menderai terbuka dengan sigap. Jungkat-jungkit pada rongga pernapasan yang sialnya tidak terasa seimbang, membuat dadaku benar-benar terasa sesak. Kualitas cahaya yang cukup tenang, bahkan tidak mampu menghentikan gerumbul acak di dalam kepalaku sendiri. Semerbak aroma peralatan medis, obat-obatan tidak wajar terasa menusuk dengan teramat. Mencari kesadaran yang mumpuni, bahwasanya aku berada di ruangan serba putih (kusangkal berulang kali jika sebenarnya aku berada di akhirat)

Tubuhku bergerak spontan, menyingkirkan gravitasi yang menekan seluruh diriku untuk tenggelam dalam pusaran tempat tidur dengan paras yang putih polos. Hingga tepat, irisku terjatuh mengitari presensi yang tengah terduduk, bersandar pada dinding, membersihkan pulau mimpi dengan kedua lengan yang terlipat di depan dada. Itu Hoseok, benar, kan?

"Hoseok, Jung Hoseok." Aku berusaha sedikit mendekat, meraih pundak pria itu dan menyadarkannya. Satu atau dua, dia tidak sedang ingin bangun lebih cepat. Hingga, terakhir kali, aku terkesan memukulnya keras, menyeru akan namanya kembali.

(TIDAK DILANJUTKAN!) Yellow DaylilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang