Bab 17 | All The Pain Pour Out (Season 1 End)

164 28 12
                                    

Tujuan? Apa itu? Katakan padaku apa yang perlu kurangkai untuk menciptakan sebuah tujuan. Sebuah janji? Omong kosong? Atau sebatas acak dari pena? Nyatanya aku tidak memiliki tujuan dari hidupku sendiri. Aku gagal, aku telah gagal meraih tangannya yang memintaku untuk tetap mengenggam. Taehyung, kumohon maafkan aku.

Kedua kakiku hanya menekuk, sembari menghitung keraguan, bahkan sebuah kebingungan yang entah sejak kapan menderai menertawakanku kini. Kamar tidur minimalis dengan luas 3x4 meter. Tempat tidur berkelas king size, berwarna hitam dan sebuah lukisan berwarna biru yang berdiri di antara dinding putihnya. Bahkan aku cukup terkejut, barangkali tanaman Gardenia yang berada di sekitar jendela dan sebuah meja seolah mampu menarik perhatianku sejak aku membuka kedua mataku dari hilangnya kesadaranku.

Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai apa yang baru saja kupikirkan, tapi aku benar-benar tidak bisa membantah bahwa dia memang yang menemuiku kembali. Sedari tadi kepalaku berdenyut, bersandar pada sandaran tempat tidur yang begitu rapi, seolah menunggu pria itu menunjukkan batang hidungnya. Jemariku bergelut, seperti memainkan ajang tinju di atas ring. Aku hanya sedang merasakan kegelisahan yang semakin acak dan menyebalkan.

"Kau sudah sadar?"

Suara itu. Bahkan hanya suaranya saja mampu membuat detak jantungku sendiri meloncat keluar dan kupastikan aku akan bertengkar dengan napasku sendiri. Aku enggan mengalihkan pandanganku, melulu memperhatikan sebuah jendela yang memperlihatkan langit yang nampak bercahaya.

Kudengar dia meletakkan sebuah gelas di sana, kemudian bergerak mendekatiku. Aku mengenggam seluruh jemariku dengan takut, barangkali aku akan menemukan sorot yang sama seperti dahulu. Dingin, keras, menyakitkan dan jahat. Ya, dia lebih mirip pemeran antagonis sebuah drama thriller.

"Polisi dan perawat rumah sakit kuyakini mereka sudah ada di sana."

Ya Tuhan, demi apapun aku tidak mampu menahan ritme hembusan napasku dan debaran di dalam sana yang semakin cepat. Hingga tanpa sadar, aku menyakiti kulit jemariku dan salah satunya lantas mengeluarkan darah. Layaknya dia menyadari, pria itu tiba-tiba menyentuhku, membuatku segera menepisnya. Dan aku memutuskan untuk memberanikan diriku menatap permukaan yang telah lama menghilang dari jangkauanku.

"Jangan, jangan menyentuhnya."

Oh ya, aku benar-benar sudah lama ya tidak melihat wajahnya sejak di mana pertemuan terakhirku kala itu. Dia tidak berubah, hanya beberapa helai surainya yang terlihat berwarna biru dan sisanya berwarna hitam. Bahkan aku ingin mengakui bahwasanya dia tetap tampan. Bibirnya yang kecil, kulitnya yang putih seperti salju. Entah mengapa, aku ingin sekali menangis dan memeluk tubuhnya. Seolah aku sedang berdosa karena aku merindukannya untuk waktu yang lama.

"Youra."

"Sudah kubilang jangan."

Pria itu kembali berusaha meraih tanganku. Namun, aku membantahnya keras. Terdengar napasnya yang terjatuh lelah. Dan aku cukup terkejut manakala kurasakan dia menghangat. Pandangan yang dingin, membeku, kasar dan konotasi negatif lainnya tidak ada sama sekali. Baik, ini keterlaluan, aku menangis tepat di hadapannya. Ah sialan, sudah aku katakan bahwa aku harus menjadi kuat, mengapa kau begitu lemah, Youra.

Dia menarik sebuah kursi yang berada di sekitar meja—mungkin meja kerja, aku tidak tahu. Dia terduduk di salah satu sisiku, memperhatikanku, tapi aku kembali beralih menatap ke arah lain. Kau tahu, perasaanku berkecamuk, benar-benar berantakan seperti orang tidak waras.

Aku mempermainkan jemariku terus-menerus. Hingga Yoongi bersikeras berusaha menyentuh kedua tanganku. Sejenak aku sempat memberontak, tapi Yoongi menelusuri pandanganku sendiri dengan kehangatannya yang jarang kutemui. Bahkan aku tidak pernah menemukannya. Aku bersikap tenang, membiarkan Yoongi pada akhirnya menyentuhku. Aku juga tidak tahu, apa yang sebenarnya sedang kulakukan kini. Dan pria itu beralih mengusap salah satu pipiku, menyingkirkan air mata yang menetes begitu deras.

(TIDAK DILANJUTKAN!) Yellow DaylilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang