Bab 9 | I'm N̶o̶t̶ A Fan of Regret

264 43 2
                                    

22 April 2019 

Kalkulasi perhitungan antara rasa sakit yang telah lama berpartisipasi di dalam kehidupanku. Pertumbuhan makna yang kudapatkan setelah aku memutuskan jatuh cinta, hingga aku lantas merengkuh sebuah kesepian. Seolah aku baru saja teraniaya oleh harapanku sendiri, layaknya terjatuh adalah pilihan terbaik dari sekian ribu pilihan yang menderap bertemu denganku.

"Satu hal yang harus kau ingat, bahwa kau tidak akan pernah mampu hidup tanpaku."

Bahkan asas yang menggaris bawahi bahwa aku mencintaimu, adalah salah satu dari sekian ratus kesalahanku. Terombang-ambing oleh biru, dikelilingi natrium dan klorin—perih mencuat yang melulu merangkak memasuki luka yang sudah ada. Dia tetap memperlakukanku layaknya aku adalah kurcaci Cinderella yang tidak sepantasnya mendapatkan sebuah kehangatan.

Nyaris tak pernah kutemui sorot mengkilau walau satu titik cahaya, dia tersenyum tak peduli. "Jangan pernah berpikir bahwa kau akan pergi meninggalkanku. Kukatakan sekali lagi, tidak ada yang akan mencintaimu selain aku. Tidak akan pernah."

Dan kau tahu, seperti apa diriku setelah semua tuturan tidak warasnya menyertai seluruh permukaan batinku? Ya, aku hanya terdiam. Seolah aku adalah murid pembangkang yang senang melakukan kesalahan dan mendapatkan teguran tidak manusiawi. Aku, diriku, kehidupanku pantas untuk di kendalikan olehnya, hanya olehnya. Tidak ada siapapun selain dia. Dia yang menguasaiku. Yup, dia memang gila dan aku sudah jelas mengatakannya berulang kali.

—YellowDaylily—

29 Januari 2022 

Kendati bahwasanya hujan yang terjatuh lebih baik dari sebuah diri yang dengan sengaja menjatuhkan seluruh akal sehatnya. Mengutip dua belas jam yang lalu, sepertinya setelah ini aku akan menyukai tebing, setidaknya ketika aku membenturkan diri, aku segera mati. Yap, luar biasa, sistem dalam kepalaku sudah rusak.

Aku seperti balita yang baru saja kehilangan ingatan, terduduk seorang diri di pertengahan pagi. Dengan menyudutkan pada sebatas sudut halte dengan mengenggam sandwich telur dan keju pemberian ayahku. Mengigit satu, lalu dua, kemudian hilang.

Kusadari hujan semakin lebat, dan aku enggan beranjak. Seolah aku baru saja terhantui oleh ketakutan barangkali iblis Insidious akan membawaku memasuki ruang alam yang berbeda. Menyiksa, menyakiti, menampar, membuang, lantas menghancurkan. Apakah aku akan mati? Apa seperti ini akhirnya? Ya! Bahkan kucup bunga Turnera Subulata tidak segera melakukan gerak fotonasti. Bagaimana aku harus mati semudah ini.

"Kau sendirian?"

Aku menghela, mengingat-ingat dengan seumpama jelas bagaimana perputaran adegan semalam. Kuciptakan anggukan asal hanya karena aku enggan menoleh pada pria yang tiba-tiba saja melupakan suatu hal, aku tidak mengenalnya. Kulirik dalam satu kali waktu dan beralih kembali.

"Mengapa menutupnya? Sedang hujan, tidak ada udara kotor. Sayang saja, kau kan tampan."

Walau wajahnya terhalangi oleh masker hitam dan sebuah topi dengan dua huruf kecil JM di sudutnya, kurasa aku meyakini jika air mukanya perlahan menurun sendu. Bahkan pandangannya mengekori kecipak hujan yang berlari sedikit deras. Tidak juga, setelah itu dia tersenyum. Itu terlihat di antara kedua matanya yang menarik kecil.

Dia menatapku, sejenak menyingkirkan benda yang menutupi kepalanya dan membenahi surai miliknya yang sedikit acak. "Begitu, ya?"

Aku mengangguk sekali lagi, meninggalkan salah satu kakiku untuk tergenangi air hujan yang merosot dari atap halte. Cukup berisik. Dan kuperhatikan pria di sana mengikuti seluruh tingkah laku yang kulakukan, membuatku tanpa sadar merotasikan bola mataku malas. Jaket tebal hitam, sepatu sneakers putih—mungkin karena hujan, itu sedikit kotor, dan ya dia agak menawan.

(TIDAK DILANJUTKAN!) Yellow DaylilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang