Bab 16 | I Reach Out My Hand and You Suddenly Disappear

171 28 0
                                    

24 Febuari 2022 

Sebenarnya aku tidak memiliki cita-cita atau harapan apa pun selain aku ingin merasakan tenang untuk waktu yang lama. Begitu sederhana. Namun, bagiku mendapatkan ketenangan layaknya mencari sehelai jerami di tumpukan jarum dengan ujung tajamnya yang tumpul. Terasa sakit. Aku hanya menginginkan hal tersebut. Seolah sulit, barangkali yang kutemukan tetap degupan jantung yang berpacu tanpa menoleh memperhatikanku, napas yang memburu acak dan pikiran melambung memutus atmosfer kesadaran. Tidak ada ketenangan, sama sekali.

Pandanganku terbuka dengan sebuah paksaan yang tidak terlalu ringan menghantam prespektif kesadaranku. Tubuhku bergerak menjauhi tempat tidurku sendiri, berlalu melepaskan napas yang tiba-tiba saja tertahan dengan belenggu yang sangat kuat. Kusadari dahiku berkeringat. Jemariku bergetar, menahan fluktuasi debaran yang tidak terhitung jumlah ketukan. Mimpi? Mengapa terasa begitu nyata.

Lantas saja aku melompat dari sandaranku, berlalu keluar membuka pintu kamarku sendiri. Langkahku menciptakan pengulangan jarak yang cepat dan aku menemukan keberadaan ibu yang terduduk di sebuah sofa ruang tamu dengan menghitung hasil penjualan toko rotinya. Kutemukan juga pada ayah yang sedang berasumsi gila dengan sebuah koran yang baru saja terbit kemarin. Mereka hidup? Ya, mereka masih hidup.

"Eoh, Youra. Kau sudah bangun. Nak, ada yang ingin—"

Ibu menghentikan ujarannya karena menyadari bahwa aku memutuskan untuk kembali melangkah terburu-buru memasuki kamarku. Terlihat aku yang sudah sangat kacau, lekas meraih ponselku yang tergeletak sembarang berada di atas nakas. Pandanganku yang menajam menatap penuh pada layar ponsel tersebut dan aku sangat terkejut untuk ratusan kali. Pesan itu, muncul lagi.

"Kau tahu aku tidak mengerikan sama sekali."

Tubuhku lantas meringsut menurun, terjatuh lemas karena baru saja kusadari bahwa tidak sepenuhnya yang kutemukan adalah mimpi buruk. Aku berlalu mencari sebuah nama yang tertera di antara kontak teleponku. Hoseok tidak cepat mengangkatnya, membuatku semakin kehilangan logika atas pikiranku sendiri.

"Halo, Youra. Ada apa?"

"Eoh, Hoseok. Kau baik-baik saja?"

"Ya, tentu. Ada apa, kau terdengar tidak sehat."

Rasanya sangat melegakan. Pundakku berlalu menurun setelah mendengar suara di seberang sana yang menenangkan. Aku tidak tahu mengapa aku sangat ingin menghubungi Hoseok, tiba-tiba saja merasakan kekhawatiran yang tidak biasa.

"Aku tidak apa-apa, Hoseok."

Aku memutuskan panggilan tersebut, sejenak menjauhkan ponsel milikku. Aku berusaha terdiam, barangkali aku memang sedang berhalusinasi atau sebenarnya semua hal yang kutemukan adalah sekadar bunga tidur. Tapi, bagaimana dengan pesan itu, bahkan kalimatnya tersusun secara sempurna. Tidak, tidak, pasti hanya mimpi buruk biasa, tidak ada hal lain yang menggangguku.

"Youra."

"Ibu?"

Kepalaku lantas mendongak, memperhatikan tubuh wanita itu yang lekas bergerak membuka pintu kamarku dan melangkah mendekatiku. Ibu sejenak terlihat ragu, tapi dia memutuskan merunduk untuk semampai denganku. Suaranya terkesan berbisik dan begitu tenang, hanya saja entah mengapa aku merasakan bahwa ibu sedang dalam keadaan yang berkecamuk mengerikan.

"Ibu ingin memberi tahu alasan mengapa Ibu memintamu untuk menikah dengan pria itu."

Mimpi buruk atau sebenarnya semua ini adalah pertanda? Mengapa terdengar sama seperti yang kutemukan di dalam bunga tidurku sendiri. Tolong katakan, aku tidak akan menemui kejadian yang sama juga, kan? Tidak, tidak mungkin.

(TIDAK DILANJUTKAN!) Yellow DaylilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang