Bab 2 | You Should Erase My Memory

742 94 20
                                    

Mengikis senja, hingga tenggelam melewati purnama. Demikian aku tetap terdiam, menghitung berbagai alasan mengapa aku tidak lekas menyadari kesalahanku bahwa aku telah keliru dalam mengenggam sesuatu.

Sialnya adalah aku tetap memikirkan pria tersebut. Yoongi, Yoongi, Yoongi. Tidak ada, aku perlu melupakannya dan menganggap sekiranya dia hanya orang tidak waras yang hingga tanpa sebuah kesengajaan mengetuk permukaan kehidupanku saat itu.

Aku tidak boleh memikirkannya lagi, tidak boleh sama sekali. Aku tidak mau berhalusinasi dengan tokoh utamanya adalah dia. Sudah cukup.

"Kau sangat harum, Youra."

Aku hanya tersenyum menanggapi pujian sederhana di sana, membiarkannya mengerayangi tubuhku dengan bebas. Tidak, aku tidak melakukan persatuan setubuh yang gila. Dia hanya memelukku, beralih mengecup dan menghirup singkat ceruk leherku, sembari mengikuti alunan musik yang menggema dari sebuah club yang berangsur semakin membludak akan para penghuni.

Aku cukup menikmati segelas wine dan kecupan ringan yang di berikan oleh pria di hadapanku saat ini. Dia adalah salah satu pria yang menyukaiku, tapi aku memutuskan untuk menolak perasaannya. Dia tidak marah atau bahkan menjauhiku. Dia hanya memintaku untuk tetap menjadi seorang teman—teman untuk berbagi keuntungan yang menggoda. Dia memberikanku segelas wine dan anggur, lalu aku memberikan diriku walau tidak sepenuhnya.

Hey, apa aku terlihat buruk? Ayolah, dunia terlalu naif untuk bertingkah seolah diri tanpa segurat dosa. Lagi pula, aku senang melakukannya.

"Youra, aku tahu kau menikmatinya. Apa kau tidak ingin—"

"Tidak."

Bagaimanapun aku tidak mampu memberikan seluruh diriku pada pria yang bahkan tidak mencintaiku. Aku hanya sekadar menyukai sebuah keuntungan yang di berikannya. Terkadang aku membutuhkan segelas wine—aku sangat menyukai wine. Apalagi jika itu adalah Traminer Riesling Wine, karena dia benar-benar sangat mahal.

Pria tersebut terdengar menghela, dia tetap menarik tubuhku untuk semakin di rengkuhnya, menyentuh permukaan kedua sisi leherku. Sedangkan aku hanya sesekali meneguk wine yang berada di genggamanku saat ini. Namun, tiba-tiba saja ponselku bergetar, menandakan panggilan suara yang lantas berusaha menyapaku. Kuyakini itu Hoseok.

Aku segera meraih ponselku yang berada tepat di dalam tas sling bag-ku. Aku meletakkannya pada pendengaranku. "Halo, Hoseok. Aku tidak bisa mendengar suaramu." Aku berusaha berteriak, menaikan oktaf yang mampu kusesuaikan dengan gema yang membumbung semakin keras.

"Kau ada di mana? Mengapa berisik sekali?"

Aku beralih menarik diriku dari berbagai sentuhannya. Namun, layaknya dia menginginkan aku tetap berada pada posisi seutuhnya, pria itu malah semakin menahanku. Aku kembali berteriak. "Aku—ahh, hey jangan menyentuhnya."

Tanpa sadar, aku berangsur melenguh merasakan sentuhannya lantas bertindak tidak wajar hingga dia menyentuh payudaraku. Sial, aku segera melepaskan rengkuhannya dengan cepat.

"Sudah aku katakan, jangan menyentuhnya. Kau itu menyebalkan," gerutuku tidak suka. Aku bersungut kesal dengan beberapa ujaran yang berusaha terdengar keras.

Aku segera menjauh, mendorong sisa wine yang kumiliki pada pria di sana yang hanya tersenyum tidak waras. Astaga, berapa banyak pria bajingan di dunia ini.

Aku menyisipkan tubuhku melewati beberapa khayalak yang sedang menikmati permainan-permainan kecil yang mereka ciptakan. Aku berusaha tetap tersambung dengan Hoseok yang sepertinya tidak berhenti bertanya di mana keberadaanku saat ini.

(TIDAK DILANJUTKAN!) Yellow DaylilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang