Menghempaskan diri pada pelantaran yang tidak seharusnya menjadi bagian dari kehidupanku. Terkukuh oleh perasaan yang seolah-olah mencari teman yang juga mampu kurasakan bagaimana luka yang sedang tergoresi oleh upaya. Lalu, bahkan aku saja memiliki luka, bagimana bisa aku meraih luka seseorang dan menyimpannya dalam satu wadah yang sama. Tidak, ini memang keinginanku.
Mematuhi egois? Tidak ada yang pantas kugenggam dari sikap keegoisan. Ketika bagaimana aku yang menjatuhkan diri pada perihal yang utama dari sifat manusia, aku kelelahan untuk bertahan. Sejatinya yang kuingat hanya sebatas gema ruah gelas yang berjatuhan, amarah yang selalu membumbung layaknya kesetanan, geram tumpukan kalimat menyakitkan yang sepertinya aku akan mampu untuk menelannya.
"Youra."
"Ya?"
Taehyung terlihat menengadahkan pandangannya untuk menatapku. Aku segera menanggapi bagaimana lirikan sejenak yang diberikannya. Dia yang tertidur di atas pahaku, tiba-tiba saja meraih jemariku lalu mengenggamnya. "Kau tidak akan pergi, kan?"
Aku kehilangan suaraku sendiri ketika Taehyung terus menerus mengajukan pertanyaan yang tidak berbeda setiap harinya. Dia juga tanpa henti memperhatikanku, menunggu akan aku yang mengangguk dan jelas tidak menyangkal. Namun, aku hanya takut jikalau Taehyung akan semakin mempertahankan keberadaanku.
Aku takut suatu saat nanti Taehyung kehilangan kepercayaan tetap untuk menyadari kehidupan miliknya. Hanya saja, aku lebih takut barangkali ketika aku menggelengkan kepala dan menolak tegas, maka dia akan semakin bertingkah tidak waras. Itu terlihat oleh kedua pandanganku, sekiranya ketika memperhatikan apartement miliknya berangsur tetap baik-baik saja, tapi itu tidak.
Aku meringis dalam keheningan di dalam diriku, memperhatikan seluruh sudut ruangan yang saat ini kusinggahi semalam. Hancur. Yap, hancur.
"Ya, tentu saja, aku tidak akan pergi."
Kenyataannya bahkan begitu sulit. Kembali, aku membenahi kebohongan. Terjamahi oleh perasaan takut akan logika yang memang sedari sebelumnya selalu menghalau. Namun, kepalang terjadi, aku hanya perlu memperbaiki kebohongan tersebut menjadi susunan yang lebih baik.
—YellowDaylily—
11 Maret 2019
Satu hingga dua, lalu berakhir pada lima. Menggerus asal pada sebatas balok putih hitam piano. Bagaimana semerbak suasana terlalu gelap untuk disinggahi. Namun, aku tidak mampu menyangkal jika yang berada di sana jauh lebih bercahaya. Kelu bibirnya yang terdiam, jarak pergerakan pada sentuhan, lalu menimbulkan gemilang nada mempesona, mata yang menyirat akan kerinduan. Aku terpukau.
Lima jam dengan pergulatan pada melodi yang sama, layaknya dia sedang mencari celah dari ritme seperti apa lagi yang akan ia ciptakan. Namun, sejenak kupandangi, perlahan cahaya yang mengitari lantas merangsak acak. Dia lekas menekan rentetan balok tersebut dengan kasar, menyingkirkan seluruh hal yang berada di hadapannya. Berteriak, layaknya penderitaan yang dimilikinya membeku tetap. Rintihannya yang kutemukan sebatas lelah. Kuakui dia terluka, tapi bagaimana denganku? Dia tidak memikirkan perasaanku.
"Jangan pernah mencoba untuk menghancurkanku."
"Bahkan aku lebih hancur jika sikapmu seperti ini padaku."
Dan ya, semua yang dia lakukan hanya sebatas melunturkan sebuah nilai dari benda di sekitarnya. Pecahannya menggema, menyakiti rungu tanpa batas, mengapresiasi fluktuasi ketukan jantung yang mampu menyingkirkan akal sehatku. Sekali lagi, ratusan kali, aku hanya mampu terdiam. Layaknya keledai bodoh yang melulu mengalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
(TIDAK DILANJUTKAN!) Yellow Daylily
Fanfic(WARNING!! SETIAP PART PANJANG2. BAHASANYA BELIBET. BIKIN MIKIR KERAS!! YANG GAK KUAT, SILAHKAN UNTUK TIDAK DIPAKSAKAN. KESEHATAN ANDA JAUH LEBIH PENTING DARIPADA MEMIKIRKAN KEHIDUPAN DI DALAM DUNIA YELLOW DAYLILY. SEDANGKAN YANG INGIN MELANJUTKAN...