Chapter 36

13 0 0
                                    

Setelah kejadian makan malam di rumahku waktu itu, hubungan pertemananku dengan Adit berangsur membaik. Hubunganku dengan Kak Harry juga tidak mengalami masalah serius. Hanya saja belakangan ia menjadi sibuk dan lumayan jarang membaca pesanku. Bahkan terakhir kami bertemu, Kak Harry masih sempat-sempatnya membawa setumpuk kertas latihan ujian masuk universitas.

Aku memutuskan mampir ke rumah Adit setelah pulang sekolah. Hitung-hitung mematahkan anggapan Ibu Nastiti yang mengatakan bahwa selama ia pulang aku belum pernah mampir ke rumahnya. Eh tidak-tidak, aku memang ingin berkunjung saja.

Aku mengetuk pintu beberapa kali sampai Adit membukakan. Aku memang sudah mengabari jika akan mampir, untungnya Adit sedang tidak ada jadwal kuliah. Adit menyambutku dengan raut wajah yang cerah. Ia terlihat santai dengan setelah celana pendek dan kaus polos berwarna hijau army.

“Siapa Dit?” Suara Ibu Nastiti yang kemudian sosoknya muncul di belakang Adit.

“Eh, Dea. Masuk De.” Ucapnya lalu melengang. “Adit nih ada tamu bukannya buruan disuruh masuk malah diliatin.” Tambahnya dan aku terkekeh.

“Mau minum apa De?” Tawar Adit setelah aku sempurna duduk. Ibu Nastiti meninggalkan kami berdua di ruang tamu.

“Apa aja deh.” Jawabku santai. Sejurus kemudian Adit melengang pergi. Mungkin ke dapur. Aku meraih album foto yang terletak di meja samping ruang tamu itu. Beberapa foto Adit semasa kecil terpampang disana. Ia terlihat lucu ketika tersenyum menampilkan gigi-giginya yang belum tumbuh seluruhnya.

“Foto waktu kita parade TK.” Ucapnya ketika aku sampai pada halaman yang menampilkan aku dan Adit mengenakan busana adat dan berpose di depan kereta mini yang dihias. Adit menaruh nampan berisi dua gelas teh dengan sepiring kukis. Ia duduk pada kursi sebelah kiriku sembari mempersilakanku makan.

Aku hanya terkekeh sambil menganggukkan kepala. Kaset dalam otakku memutar rekaman ketika aku dirias menyerupai laki-laki. Aku menangis sepulang parade. Ya, bagaimana tidak? Alih-alih menjadi putri cantik wajahku justru digambari kumis.

“Dea, ke Bandung yuk? Kamu katanya pengen naik kereta beneran.” Ucapnya mendadak saat aku masih sibuk mengamati foto-fotonya. Aku menoleh, mendapati Adit yang menggaruk tengkuknya. Aku tersenyum.

“Emang kamu ada libur kuliah. Mahasiswa Teknik bukannya sibuk?” Tanyaku. Oh iya, aku lupa memberitahu kalian jika Adit kuliah di jurusan Perencanaan Wilayah Kota. Aku bangga sekali saat mendengarnya untuk pertama kali. Sewaktu kecil kami senang sekali melihat gambar kota-kota besar di dunia. Jika aku mempunyai buku kumpulan puisiku, maka Adit juga mempunyai buku khusus berisi gambar-gambar kota karyanya sendiri.

“Setelah ujian semester nanti aku libur sekitar 2 bulan. Cukup banget kalo cuma buat ke Bandung.” Ia terkekeh sedikit.

“Okay, kita obrolin nanti pas udah libur aja ya.” Jawabku. Aku sama sekali tidak keberatan, malah menyukai ide Adit untuk ke Bandung. Hanya memikirkan beberapa pertimbangan.

Aku meneguk tehku lalu tersenyum sekilas. Adit membalas tersenyum dan terlihat sedikit rasa kecewa di sana.

“Aku izin Ayah sama Bunda dulu, okay? Ya, Bandung impian aku banget sih. Tapi semua kan atas izin Ayah sama Bunda.” Ucapku setelah keheningan menyelimuti kami. Adit tersenyum kembali lalu mengangguk.

“Oh iya De, soal Kak Harry. Eum, kamu kenal sejak kapan?” Tanyanya ragu-ragu. Aku tersenyum. Ini harusnya bisa menjadi pemecah keheningan kami.

Aku membenarkan posisiku dudukku. Menutup album foto yang sudah ku buka dua kali lalu meletakkannya ke tempat semua. “Aku kenal sejak mendaftar OSIS. Dia kakak kelas di sekolahku. Terus, Kak Harry ternyata temennya Bang Louis. Kamu inget Bang Louis kan?”

TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang