Hari ini akhirnya tiba. Hari yang telah aku janjikan bersama Dea. Tapi, janji hanya sekadar janji. Siapa yang mengira hubunganku dan Dea menjadi tidak baik belakangan ini. Mungkin aku yang bersalah. Tapi, rasanya hari itu puncak segala hal yang ku pendam akhirnya bisa ku ungkapkan. Kalau boleh jujur, aku tidak benar-benar ikhlas Dea berlibur dengan teman kecilnya itu. Aku bisa membaca sorot mata lelaki itu ketika terakhir bertemu dengannya. Ia jelas menyukai Dea. Belum lagi urusan kampusku. Dea memang selalu mendukung apapun pilihanku, tapi situasinya sering kali menempatkanku berjuang sendiri. Aku kadang merasa tidak memiliki Dea selama aku berjuang untuk pilihan kampusku. Sekali lagi, ini jelas salahku yang selalu menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Salahku juga jika hari itu emosiku memuncak. Tetapi untuk menemui Dea dan memberikannya penjelasan rasanya aku belum siap.
Aku telah siap dengan setelanku untuk pergi ke prom night. Awalnya aku berniat berangkat sendiri. Tetapi Kenny menawarkan diri untuk menemaniku. Jadi aku berangkat bersamanya. Aku terlambat sampai karena harus menjemputnya terlebih dahulu.
Sampai di lokasi, Zayn dan lainnya nampaknya sudah separuh jalan melakukan latihan. Aku menyapu sekitar dan menemukan gadis yang satu minggu ini sedang perang dingin denganku. Seolah baik-baik saja, aku hanya melihatnya sekilas saat ia beranjak dari tempat duduknya. Niall berusaha untuk memanggilnya beberapa kali, tapi ia sama sekali tidak menghentikan langkahnya.
Aku sempat menyaksikan ia menata barisan cup cake yang kemudian dihampiri oleh Niall. Meski tidak mendengarnya, aku yakin Niall menanyakan "kabar" Dea. Bagaimanapun aku tetap bisa membaca raut sedihnya saat mengetahui aku datang bersama Kenny.
"Kita duduk di sana yuk!" Ajak Kenny yang membuyarkan pandanganku kea rah Dea.
"Okay." Jawabku dan kami memilih duduk di ujung untuk menikmati beberapa penampilan.
Aku menikmati acara bersama Kenny. Mengabaikan kecemasanku terhadap Dea yang entah sedang berbuat apa. Aku pergi dengannya, tidakkah kurang ajar jika aku hanya mendiamkannya sepanjang acara.
Bandku tampil sesaat sebelum acara inti berlangsung. Mataku menyapu sekitar dan mendapati Dea masih berdiri di stand cup cake. Matanya menuju ke arah panggung dan tersenyum kepada Niall. Di bawah sana Kenny bersorak meneriakiku dengan semangat. Aku tersenyum membalasnya.
"Kenapa dateng bareng perempuan lain sih? Kan ada Alif." Bisik Zayn yang sedang mengalungkan gitar.
"Lagi berantem." Jawabku singkat dan Zayn hanya berdecak pelan.
Band kami menyanyikan dua lagu, dan tepat setelah itu mataku menangkap Dea yang sedang berlari menjauh dari panggung. Entah kemana tubuh kecil itu bergerak, aku tidak begitu memperhatikan setelahnya. Ada sedikit rasa khawatir di dalam hatiku. Namun rasa gengsi masih sedikit menyelimuti hatiku. Perasan aneh yang seolah memvalidasi kekesalanku minggu lalu. Selebihnya adalah perasaan ingin memeluknya erat-erat dan menganggap tidak ada apapun di antara kita yang perlu menjadikannya sedih.
"Ken, balik yuk!" Ajakku dan Kenny mengernyit bingung.
"Kok buru-buru? Ini kan baru mau acara inti?"
"Iya, tiba-tiba ga mood aja. Sorry ya." Ucapku yang mungkin membuatnya kecewa. Tapi setidaknya aku jujur. Aku sedang tidak dalam mood yang bagus sekarang.
Kenny mengangguk dan kami langsung pergi dari kerumunan anak-anak kelas dua belas beserta pasangan promnya. Selama diperjalanan Kenny juga tidak bertanya sama sekali. Aku berterima kasih dalam hati untuk itu. Setidaknya aku tidak perlu menjelaskan padanya apa yang sedang terjadi.
Sampai di rumahnya aku langsung berpamitan dan memacu mobilku dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata. Aku tau kemana aku harus pergi di situasi seperti ini. Mataku menangkap bayangan gadis duduk mendekap lututnya dengan pemandangan danau yang gelap itu. Tidak salah lagi, itu pasti dia. Sedang apa dia di sini tengah malam begini?
"Ngapain tengah malem disini?" Kalimat dengan intonasi bodoh ini tiba-tiba saja keluar dari mulutku.
Dea tidak menjawab. Bahkan ia tidak bergerak sama sekali. Aku memutuskan melangkah lebih dekat, khawatir dengan kemungkinan buruk yang terjadi.
"Dea, ngapain disini?" Aku bertanya lagi dengan intonasi yang semoga lebih baik.
Dea bangkit dari duduknya. Syukurlah setidaknya ia baik secara fisik, ia juga tidak menangis. Sayangnya ia hanya menyambar tas miliknya dan berlalu seolah tidak melihatku yang tepat berada di belakangnya saat ini.
"Aku ngomong sama kamu, De." Aku berusaha mencegatnya, meraih tangannya atau apapun untuk setidaknya mendapatkan tatapan matanya. Tapi nihil, ia masih tidak menganggapku.
"Pulang, aku anter." Ucapku dan ia masih tidak menjawab. Berlalu menuju sepeda motornya.
Aku mengekorinya dari belakang. Setidaknya aku ingin memastikan ia baik-baik saja sampai di rumah. Sesampainya di rumah, ia masih tetap tidak menganggapku ada. Di titik inilah aku benar-benar merasa bersalah sudah membentaknya saat itu. Besok atau lusa aku harus menemuinya, bagaimanapun caranya. Aku akan memberikan penjelasan atas apa yang terjadi. Melihatnya kacau seperti ini jauh lebih menyakitkan daripada melihatnya menangis sekalipun.
Pendek dulu deh, besok dilanjut xixixi
Lagi wondering, cerita ini faedahnya apa ya wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbit
Teen FictionApa rasanya ditinggalkan cinta pertama? Patah? Atau bersyukur, sebab cinta selanjutnya akan datang. "Ku biarkan dia tenggelam agar kau bisa terbit" my very first story