Harry’s POV
Aku mematikan telponnya. Ia sedari tadi menelponku, entah sudah keberapa kali. Aku baru tahu, ia keras kepala. Bukan aku tak menghargai usahanya, tapi aku hanya belum ingin berbicara padanya. Aku perlu waktu, setidaknya untuk meredakan emosiku. Aku hanya tak ingin meledak dihadapannya.
Aku tau Dea menangis, aku melihatnya tadi saat ia memeluk sahabatnya itu. Sayangnya, aku tidak mendengar percakapan mereka. Tanpa Dea memberi kabar jika band ku juara dua pun aku juga sudah mengetahuinya. Ya, aku tidak benar-benar pulang tadi. Aku menyaksikan pengumuman itu di barisan sekolah lain sehingga tidak satupun temanku menemukanku disana.
Dea hanya tersenyum bangga saat band ku mendapat juara kedua. Sementara teman-temanku yang lain sudah saling memekik senang, apalagi Niall dan Eci. Ah, pasangan baru itu. Sesungguhnya ada perasaan senang saat melihatnya tersenyum atas usahaku. Sesungguhnya juga, aku ingin memeluknya sekarang.
***
Jam istirahat telah berbunyi lima menit yang lalu. Aku melangkah pergi ke kantin dengan Zayn lalu duduk di meja yang pernah ku gunakan bersama Dea saat aku selesai tampil di sekolah kala itu. Tanpa sadar, aku memesan jus mangga, minuman yang hari itu Dea minum.
“Hazz, ada masalah?” Tanya Zayn untuk kesekian kali karena hari ini aku memang tidak bersemangat. Aku hanya menggeleng menanggapi pertanyaannya.
“Alif ya?” Tanyanya hati-hati. Aku tau Zayn hanya memvalidasi, ia pasti sudah tau alasan mengapa aku murung hari ini. Aku hanya mengendikkan bahu.
“Saranku, dengerin penjelasan dia dulu sih. Kamu tau? Kemarin dia juga kecewa banget ga bisa nonton kita. Aku yakin, dia punya alasan yang kuat kenapa telat.” Ucapnya.
“Masalahnya dia ingkar janji Zayn. Misal dia ngabarin kalo dia ga bisa dateng, aku bisa ngerti. Setidaknya aku ga kayak orang bego nungguin dia.’” Jawabku. Aku benar kan? Setidaknya beri aku kabar jika tidak bisa datang.
“Dia ga ngabarin karena dia yakin dia dateng. Dia ga mau ngecewain kamu. Percaya sama aku yang satu ini.” Tutup Zayn setelah es kopi di hadapannya habis. Aku hanya mengangguk. Sedetik kemudian aku benar-benar memikirkan kata-kata Zayn.
Aku tidak memperhatikan Pak Fahmi yang sedang menjelaskan materi Fisika di depan. Pikiranku masih pada gadis itu. Sampai detik ini aku bahkan belum bertemu dengannya. Mungkin benar kata Zayn, kami perlu bicara.
Aku membulatkan tekad. Aku akan menemuinya. Ia pasti sedang di depan gerbang menunggu dijemput sekarang karena setahuku Bundanya belum mengizinkan ia mengendarai motornya sendiri. Aku melangkahkan kakiku tak sabaran. Segala rasa kesalku karena dia mengingkari janjinya sudah berhasil ku tahan, setidaknya sampai kami duduk berdua dan ia menjelaskan.
Hatiku kembali tertusuk melihat apa yang sedang terjadi di depan mataku. Dea tidak dijemput oleh Louis dan pacarnya, tapi Ardit atau siapalah nama lelaki sialan itu aku tidak peduli. Dea memeluk lelaki itu erat. Emosiku kembali tak tertahan. Aku melepas paksa pelukan itu kemudian meninju wajah Ardit sialan itu. Apa ini alasan Dea tak menepati janjinya?
Laki-laki itu tersungkur. Ia kaget dan tak siap dengan seranganku yang tiba-tiba. Dea sama paniknya. Pukulanku menyisakan sedikit lebam di wajahnya. Dea membantunya bangkit sementara napasku masih memburu bersamaan dengan hatiku yang berkali lipat lebih sakit. Semua orang disini memperhatikan kami, dan hei aku tak peduli!
“Kak Harry cukup!” Ucapnya dan ia kembali menangis. Bagus, ia membela temannya itu. Ya, kau berharap apa Harry? Berharap Dea membelamu?
“Tadinya aku mau minta penjelasan soal kemarin. Tapi, sekarang aku udah dapet penjelasannya.” Ucapku lalu meninggalkan mereka. Aku tak tahu bagaimana aku setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbit
Teen FictionApa rasanya ditinggalkan cinta pertama? Patah? Atau bersyukur, sebab cinta selanjutnya akan datang. "Ku biarkan dia tenggelam agar kau bisa terbit" my very first story