Harry's POV
Entah apa yang mendorongku untuk memeluk gadis itu. Dia gadis yang amat polos dan baik. Aku tau itu sejak pertama kali melihatnya pada saat interview OSIS.Aku hanya ingin meluapkan emosiku setelah melihatnya dipeluk oleh Niall, temannya itu. Aku menyukai posisiku yang nyaman saat ini. Kepala Dea ku letakkan pada dadaku sementara tanganku menyentuh bagian punggungnya. Aku tidak peduli, sekalipun Avie datang dan marah-marah didepanku. Aku hanya ingin seperti ini.
Sejak kejadian mengantar ia pulang untuk pertama kalinya, aku yakin dia tidak pernah berboncengan dengan lelaki manapun sebelumnya. Ia sama sekali tak menyentuh tubuhku untuk berpegangan. Dan hari ini, aku memeluknya. Astaga, pasti ia sangat kaget.
"M-maaf." cicitku. Akhirnya aku melepas pelukan ini. Dea sejak awal mencoba melepaskan, tetapi aku menahannya hingga akhirnya ia menyerah patuh.
Dea hanya menatapku bingung. Aku berbalik kemudian berjalan menuju motorku. Ada perasaan lega sekaligus menyesal. Lega karena aku bisa memeluknya hari ini. Menyesal karena takut ia akan marah setelah apa yang ku lakukan baru saja.
Katakan aku brengsek karena telah memeluk Dea sementara statusku adalah sebagai pacar Avie. Kalau saja aku tidak kalah dari taruhan sialanku dengan Zayn saat itu, aku tidak akan memacari Avie.
Avie memang cantik, tubuhnya sedikit lebih tinggi daripada Dea. Ia juga gadis yang baik. Tapi, aku tidak merasakan debaran sedikitpun setiap bersamanya.
Aku sampai di rumahku sekitar pukul setengah satu malam. Mom sudah tidur, sementara Gemma -kakakku- terlihat masih menyelesaikan skripsinya di kamar. Pintunya sedikit terbuka jadi aku bisa melihat dia yang duduk menghadap laptopnya dengan tatapan serius.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur tanpa melepas sepatuku. Aku menatap langit-langit kamarku sambil mengingat-ingat kejadian bersama Dea akhir-akhir ini. Ah, gadis itu.
Alif's POV
Aku mengaduk es teh yang ku pesan di kantin. Aku memutar posisi dudukku menjadi memunggungi lapangan voli yang terletak persis di depan kantin saat melihat Kak Harry, Kak Zayn, dan segerombolan teman-temannya yang berseragam olahraga bersiap untuk bermain voli. Kelasku sedang jam kosong dan aku memutuskan untuk pergi ke kantin.Kak Harry melirikku sekilas sesaat sebelum aku memutar posisiku. Bayangan ia memelukku semalam langsung terlintas begitu saja. Gelenyar aneh menjalar di seluruh tubuhku saat ia mengeratkan pelukannya.
Aku buru-buru menenggak habis minumanku lalu bergegas pergi dari kantin.
Aku duduk di depan kelasku setelah mengambil novelku. Membaca awalan cerita dimana Nathan -tokoh dalam novel Sunset dan Rosie- menjadi korban ledakan bom. Tiba-tiba kurasakan seseorang duduk di sampingku.
"Apa kamu nghindar dari aku?" Suara seraknya yang familiar ditelingaku membuatku menoleh dan mendapati lelaki berambut keriting ini.
"Eng-engga kok Kak. Aku___"
"Ya, kamu nghindar Dea." ia menarik napas berat "Maaf."Ku dengar suaranya memelan penuh dengan penyesalan. Aku hanya tersenyum kecut, tidak tega. Aku tidak benar-benar bermaksud menghindarinya. Aku hanya malu mengingat kejadian semalam.
Aku menutup novelku lalu mengucapkan kalimatku. "It's okay. Kalau Kakak ngira aku nghindarin Kakak, aku minta maaf. Tapi aku tidak bemaksud untuk itu."
Kak Harry menoleh lalu menatapku lama. Dia tersenyum dan menampakkan lesung pipinya itu. Astaga, apa dia sedang mencoba membuatku iri.
Dia mengucapkan kata 'thaks' beberapa kali kemudian berlalu menuju lapangan voli.
"Ada apa lagi Kak___" ucapanku terputus saat menyadari bahwa yang berada disampingku adalah Eci.
"Kak siapa? Jangan bilang barusan Kak Harr___ aww!" ia memekik
Aku menginjak kakinya cepat sesaat sebelum Eci menyelesaikan kalimatnya. Suaranya yang telalu keras bisa terdengar sampai dalam kelasku."Aku certain abis pulang sekolah di rumahku, oke? Dan sekarang diem aja!"
Eci hanya mengangguk sambil tersenyum jahil. Ia menyenggol-nyenggol lenganku. Aku memelototinya sambil menarik napas panjang, persis seperti singa kelaparan yang siap menerkam mangsanya. Eci hanya terkekeh.
Aku menceritakan semuanya kepada Eci. Tentang pertemuanku dengan Kak Harry pada saat kencan Kak Manda, puisiku, pertemuan di café, sampai kejadian tadi malam sepulang dari pesta ulang tahun Niall.
Eci menyimak dengan seksama. Ia memang temanku yang paling pandai dalam hal mendengarkan ceritaku. Sesekali ia bertanya saat ceritaku kurang detail.
"Jadi kamu gimana sekarang?"
Aku mengernyit. Tidak mengerti maksud pertanyaannya.
"Iya gimana sama Kak Harry. Gimana perasaannya?" Eci seolah mampu membaca ekspresiku.
"Ya ga gimana-gimana Ci."
"Mungkin emang udah saatnya kamu lupain Adit, Lif. Jangan maksain diri nungguin dia terus."
Hwhwhwh gimanaaa??
Terima kasih sudah baca sampai sini. Senang sekaliii :)
Aku masih dan akan selalu butuh kritik saran dari readers kesayanganku :*
Vote dan comment kalo enjoy sama ceritanya yak ;)
Love,
nadiyastyls
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbit
Teen FictionApa rasanya ditinggalkan cinta pertama? Patah? Atau bersyukur, sebab cinta selanjutnya akan datang. "Ku biarkan dia tenggelam agar kau bisa terbit" my very first story