Chapter 3

49 6 2
                                    

Tak lama suara motor mendekat. Tapi aku tidak mengenali motor ini, bukan motor Ayah. Tiba-tiba pengendaranya turun dan menghampiriku.

“Kamu belum pulang?” tanyanya retoris. Tidakkah dia melihat bahwa aku belum pulang?
“Iya kak, Ayah belum jemput”.
“Udah menghubungi Ayah kamu belum?” Kak Harry bertanya khawatir.
“Belum kak, hape saya mati. Saya ga hafal nomor Ayah.” kataku sesopan mungkin mengingat tadi sia dia mengataiku tidak sopan.

“Yaudah naik.”
“Ha?” aku membelalakkan mataku
“Ga denger? Naik aku anter kamu pulang.” masih saja ketus, padahal interview udah selesai dari tadi.
“I-iya kak.” aku kemudian naik membonceng Kak Harry dengan gugup.

“Ga ngerepotin Kak Harry nih saya?” tanyaku ketika di perjalanan.
“Ha? Apa? Ga denger.” jawab Kak Harry yang masih fokus nyetir.
“GA NGEREPOTIN KAK HARRY NIH SAYA?” ulangku lebih keras.
“Ngerepotin, tapi yaudah daripada diem didepan gerbang sampe besok yang ada malah ngerepotin satu sekolahan.” jawabnya sambil terkekeh.
Oh bisa ketawa juga ya, batinku.

“Kamu tadi namanya siapa? Tadi ikut interview kan?” kali ini Kak Harry yang bertanya padaku.
“Alif kak. Iya tadi saya ikut interview.”
Selanjutnya keheningan menyelimuti kami sepanjang perjalanan. Hanya aku yang sesekali menunjukkan jalan kepada Kak Harry yang hanya dibalas anggukan olehnya.

2 kilometer dari rumahku, hujan turun lumayan deras. Kak Harry tidak menghentikan motornya justru melaju semakin kencang. Aku geragapan dan reflek berpegangan pada jaketnya. Tadinya aku tidak berpegangan dan hanya meletakkan tanganku pada pahaku. Aku tidak terbiasa dibonceng oleh laki-laki selain Ayah atau saudaraku.

Sesampainya di rumah aku meminta Kak Harry masuk. Bajunya basah, biar ku pinjamkan baju Ayah agar dia tidak kedinginan. Segalak apapun dia tadi siang, dia hari ini sudah menolongku. Aku hanya ingin membalas kebaikannya.

“Assalamualaikum, Dea pulang.” sapaku, ku lihat Kak Harry hanya mengernyit.
“Dea, yaampun dari mana aja sayang kok basah gini?” Bunda menyambutku sambil memeriksa tubuhku yang basah.
“Dari sekolah Bunda, Dea kelar jam 5 tapi pas mau hubungin Ayah hape Dea mati. Jadi Dea nungguin dan baru pulang sekarang deh. Oh iya, Dea pulang dianter ____”

“Eh yaampun siapa nih, kok ganteng De?” Bunda telah mendekat pada Kak Harry dan memeriksa tubuhnya sama seperti yang dilakukan padaku.
“Kakak kelas Dea, yang nganterin Dea pulang. Namanya Kak Harry.”
“Halo tante, saya Harry.” Kak Harry menjabat tangan Bunda.
“Makasih ya Harry udah anter Dea pulang.”
“Bunda, Ayah dimana? Dea mau pinjem baju Ayah buat Kak Harry.”

Setelah Bunda berkata Ayah di kamar aku langsung bergegas meuju kamar Ayah. Aku mendorong pintu pelan kemudian sosok Ayah terlihat sedang mengamati ponselnya.

“Dea, kok kamu udah pulang ga bilang Ayah?” Ayah bangkit dari duduknya.
“Iya yah, hape Dea mati. Dea boleh pinjem baju Ayah ga buat temen Dea? Soalnya basah tadi kehujanan.” tanyaku to the point.
“Iya boleh, ambil aja di lemari. Kok pinjem baju Ayah? Berarti temen kamu cowo ya De, eh atau jangan-jangan pa___”
“Oke yah, makasih. Dea ambil yang ini ya?” Aku bergegas keluar setelah mengambil kaos polos panjang berwarna abu-abu dan celana training.

“Ini Kak, baju Ayah. Kakak pakai aja gakpapa.” kataku sambil menyodorkan baju Ayah.
Kak Harry meraih baju itu kemudian aku menunjukkan letak kamar mandi untuk berganti pakaian. Aku bergegas ke kamar untuk berganti pakaian juga karena seragam yang ku kenakan juga basah.

“Maafin ya kak, gara-gara saya kakak jadi kehujanan.”
“Iya Lif, gakpapa. Malam ini tetep hujan walaupun aku ga nganterin kamu pulang kan?” tanyanya retoris. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Ternyata dia bisa baik juga.
“Oiya, makasih udah nganterin saya sampai rumah.” imbuhku.

“Tante, saya pamit pulang ya. Hujannya udah reda. Makasih udah dipinjemin baju.” Kak Harry bicara sama Bunda tanpa menjawab ucapanku.
“Kok buru-buru? Ga makan dulu?”
“Ga usah tante. Udah ditunggu Mom dirumah.”
“Yaudah, hati-hati. Makasih ya udah anterin Dea pulang.” kata Bunda sambil menepuk bahu Kak Harry. Sementara aku hanya memperhatikan mereka.

Aku mengantar Kak Harry sampai depan rumah sambil beberapa kali mengucapkan terima kasih. Kak Harry hanya membalas dengan senyuman sambil berlalu meninggalkan rumahku. Motornya bergerak menjauh sampai akhirnya aku tidak dapat melihatnya lagi. Aku kemudian masuk ke dalam rumah.

“Cengengesan aja De, lagi naksir ya sama Harry?” Bunda tiba-tiba berdiri di depan pintu diam-diam ternyata mengamatiku.
“Eng-engga Bunda.” entah mengapa aku malah tergagap.
“Dih, gagap gitu ngomongnya.”
“Tau ah, Dea mau tidur.” Aku berlalu kemudian naik ke ka kamar ku yang terletak di lantai dua.

Aku bohong pada Bunda jika aku mengantuk. Nyatanya aku justru membuka ponselku yang sudah ku charger ketika aku berganti pakaian. Aku menuliskan nama kemudian mengirim pesan kepadanya.


TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang