Chapter 23

25 6 6
                                    

Aku tertawa saat melihat Adit limbung. Ombak baru saja menerjangnya dan ia tak sempat lari. Ini sudah ombak yang kesekian dan ia tetap saja limbung.

Ya, Adit mengajakku ke pantai. Katakan kami bodoh karena ke pantai saat matahari masih terik. Tapi hei, warna laut justru cantik saat ini. Satu lagi yang ku sukai dari pergi ke pantai saat siang hari, sepi. Tak banyak pengunjung yang datang. Hanya aku, Adit dan empat anak perempuan seusiaku. Apa dia juga membolos spertiku?

Aku hanya duduk di pasir melihat Adit yang masih sibuk bermain air. Celana yang dikenakannya ia gulung hingga lutut. Meskipun begitu, celananya tetap basah akibat ombak yang menabraknya. Adit banyak berubah. Suaranya sudah tidak cempreng seperti dulu. Tubuhnya tetap kurus, hanya saja ia sekarang lebih tinggi dariku. Ia semakin tampan.

Angin berembus cukup kencang akhir-akhir ini. Sekelebat bayangan tentang festival layang-layang masuk dalam pikiranku. Damai wajah Kak Harry ketika menutup matanya kala itu membuatku  terkikik dalam hati. Hingga bayangan Avie yang tadi pagi menamparku membuat perasaanku tiba-tiba berubah. Mataku memanas jika mengingatnya.

“Takut kena air, eh?” Adit tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku. Aku menggeleng sebagai jawaban.
“Yaudah yuk, udah sampe sini ini De. Masa kamu ga nyebur sih.” Ucapnya sambil menarik lenganku.

Aku mengikuti langkahnya. Bagian bawah rok sekolahku langsung basah saat ombak tiba-tiba datang lagi. Adit menyipratiku dengan air yang kurasakan sedikit bercampur dengan pasir. Ia tertawa keras setelahnya. Dasar lelaki ini!

“Mampus, rasain!” Ucapku yang baru saja melemparinya dengan segenggam pasir basah. Kausnya berlumur pasir. Aku tertawa puas.

Adit menyeringai jail. Ia tiba-tiba saja mengambil ember mainan entah milik siapa lalu mengisinya penuh dengan air laut. Tanpa aba-aba ia mengguyurkan ember berisi air tersebut ke tubuhku. Bagus, seluruh bagian seragamku basah sekarang.

Kami saling menyipratkan air laut sampai tak terasa matahari mulai turun. Aku harus pulang sekarang. Adit menawarkanku untuk makan terlebih dahulu tapi buru-buru ku tolak.

“Kita makan di rumah aja. Kamu udah lama kan ga makan masakan Bunda?” Ucapku menawarkan. Sebenarnya aku hanya takut Bunda mencemaskanku. Tadi aku mengatakan bahwa akan pulang sebelum jam 1 siang. Hari ini hari pertama masuk sekolah, jadi biasanya hanya perkenalan guru saja. Tapi, sekarang sudah jam 4 sore.

Aku turun dari motor Adit lalu melangkah masuk. Ku lihat sebuah motor yang ku kenal terparkir di halaman depan rumahku. Tidak sekarang, dewi batinku berteriak cemas.

“Dea. Astaga, kamu dari mana aja? Kok basah gini?” Ucap Bunda yang langsung nyerocos ketika aku masuk. “Loh, ini… Adit?” Sambungnya saat menyadari Adit yang berjalan di belakangku.

Adit mengangguk tersenyum lalu mencium tangan Bunda. Kegiatan yang selalu kami lakukan sebelum bermain dulu. Jika aku dirumahnya, maka aku yang mencium tangan ibu atau ayahnya.

“Ganti baju De, baju kamu kotor! Adit juga ganti baju, pake baju Om Hussein aja ya? Abis itu kita makan sama-sama. Ada Harry juga.” Baru mendengar namanya saja sudah membuat mataku kembali panas. Adit hanya mengangguk sambil menunjukkan raut wajah bingung.

Aku duduk di sebelah Adit sementara Kak Harry di depanku. Ia tak berbicara apapun sejak aku sampai di rumah. Matanya kini menatap Adit dengan tatapan yang sulit ku artikan.

“Harry yang nganterin tas kamu De. Lagian kenapa sih pake bolos segala hm?” Tanya Bunda saat makanan kami telah tandas. Aku hanya mengangguk, tak menjawabnya. Biar nanti ku ceritakan sendiri pada Bunda.

“Oiya, Adit sekarang pindah disini lagi?” Tanya Bunda sambil menatap Adit.
“Iya tante. Adit kuliah disini.”
“Oh udah kuliah Dit?”
“Hehe, iya tante. Adit ikut akselerasi dari SMP.” Jawab Adit menjelaskan sambil menggaruk tengkuknya canggung.

Aku membereskan piring-piring kotor sementara Bunda masih mengobrol bersama Adit. Lalu menaruhnya pada wastafel dan bersiap langsung mencucinya sebelum tangan besar mencengeram pergelangan tanganku.

“Aku udah tau semuanya De. Niall yang cerita.” Ucapnya dingin. Aku meneguk salivaku susah payah membayangkan apa yang akan dikatakan selanjutnya.

“Ga usah dengerin Avie, okey? Lupain yang tadi pagi. Kita tetep kayak biasa kan?” Ucapnya setengah bertanya. Lagi-lagi aku susah payah menahan tangisku sambil tetap melanjutkan aktivitasku mencuci piring.

Fine. Apa yang Avie bilang emang bener. Aku cinta sama kamu!” Ucapnya setengah berteriak. “Dan aku harap, kita bisa lebih dari sebelumnya.” Ucapnya memelan. Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh pada wajahnya dengan tatapan tak percaya. Ini gila. Ku harap Bunda dan Adit tidak mendengar ini.

“Maaf, Kak aku ga bisa.” Ucapku lalu berbalik menghadap wastafel kembali.
“Aku sama Avie udah selesai, De. Dia ga berhak larang-larang kam__”
“Kak Harry ga mikir ya? Itu terlalu jahat buat Avie, Kak. Aku ga bisa. Lagian, aku ga cinta sama Kakak.” Air mataku benar-benar jatuh sekarang.

“Oh, karena Ardit Ardit sialan itu hm?” Ucapnya setengah mengejek.
“Namanya Adit, dia temen aku dari kecil. Dan bukan dia alasannya. Permisi.” Aku berlalu meninggalkan Kak Harry.

Adit menatapku bingung ketika aku melewatinya untuk menuju kamarku. Aku benar-benar menangis sekarang.

Aku menangis hingga bantalku basah terkena air mataku. Tak lama setelahnya, suara motor Kak Harry dan Adit pergi meninggalkan halaman rumahku. Tiba-tiba Bunda masuk dan duduk di tepi ranjangku.

“Mau cerita sama Bunda?” Tawar Bunda. Bunda selalu baik, padahal aku baru saja membolos sekolah. Aku mengangguk lalu duduk bersandar pada kepala ranjang.

“Dea bolos karena berantem Bunda.” Bunda sedikit terkejut lalu kembali memasang wajahnya yang teduh. “Dea berantem sama temen Dea gara-gara Dea deket sama mantannya. Dia nampar Dea, Bunda.” Aku sengaja tak menyebut nama Kak Harry.

“Harry?” Aku menengok mendapati Bunda yang menatapku lembut. Aku mengangguk patah.

“Dea pindah sekolah aja ya Bunda. Dea ga siap ketemu temen Dea. Dea ga siap ketemu Kak Harry. Dea…” Aku menangis sesenggukan. Kalimat itu keluar begitu saja. Sejujurnya aku tak benar-benar ingin pindah. Alasan terkuatnya aku benci adaptasi lagi.

“Shhh.. Sayang, setiap manusia itu hidup berdampingan dengan masalah. Sabar, selesaikan satu persatu. Jangan pergi. Kamu bisa lari kemanapun kamu mau, tapi masalah akan tetep ada sama kamu.” Ucap Bunda sambil mengelus rambutku. Aku memeluk Bunda erat. Bunda selalu jadi yang terbaik.

Asdfdhk au ah Dea nya kok jadi cengeng gini wkw

Vote dan comment aja deh kalo gitu :D

Love,
nadiyastyls

TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang