Chapter 43

9 1 0
                                    

Hari terakhir di Bandung. Sungguh tidak terasa. Bukan karena terlalu seru, sebaliknya aku justru bingung akan menghabiskan waktu untuk apa lagi. Diantara kami berempat, hanya Adit dan Avie yang memiliki rencana liburan. Lalu, untuk apa aku diajak?

Eci beberapa kali pergi sendiri juga. Katanya untuk menelusuri hidden gem wisata kuliner yang ia temukan dari review Instagram. Hari ini pun ia berencana mencari oleh-oleh untuk Niall. Karena aku tidak memiliki rencana apapun, jadi ku putuskan untuk ikut Eci berbelanja oleh-oleh.

Kami berangkat dengan menumpang taksi online. Bandung hampir sama macetnya dengan kota kami. Beberapa kendaraan turut mengisi jalan yang kami lewati. Eci terlihat mengecek ponselnya beberapa kali.

"Kamu pernah berantem sama Kak Harry belum sih, Lif?" Tanyanya tiba-tiba.

"Ha? Pernah kan? Waktu band dia ikutan kompetisi. Emang kenapa?" Jawabku sambil mengingat-ingat.

"Engga apa-apa, sih. Aku lagi berantem sama Niall nih. Yaa sepele sih, gara-gara seharian lupa ngabarin doang kemarin." Jawabnya sedikit lesu. Ah iya, aku juga belum mengabari Kak Harry hari ini.

"Jadi, ini beli oleh-oleh buat nyogok dia?" Tanyaku menyelidik, Eci tertawa kecil.

"Mungkin? Kira-kira dia bakal maafin aku ga ya?" Tanyanya sedikit memelas.

"Pasti dimaafin. Kamu nyogoknya pake makanan, ga bakal bisa ditolak sama Niall" Jawabku dan kami tertawa.

Lima belas menit kemudian, taksi yang kami tumpangi berhenti di bangunan yang bertuliskan Pusat Oleh-oleh Bandung. Setelah membayar taksi, kami turun dan langsung memasuki bangunan tersebut.

Aku melihat beberapa makanan yang disajikan berderet. Kue mochi, peuyeum, kripik, sampai batagor instan semuanya lengkap. Aku harus memuji Eci dalam hal kemampuannya menelusuri review orang-orang di Instagram.

Eci sibuk memilih oleh-oleh untuk ia berikan kepada Niall. Sesekali ia melirik label harga lalu membandingkan dengan produk lain. Kemudian ia akan memasukkan salah satu dari kedua produk itu, sedang produk lainnya ia kembalikan lagi. Sudah tiga kali pemilihan aku melihatnya, dan kini keranjangnya sudah hampir penuh.

"Mending pilih batagor instan aja, walaupun instan tapi rasanya otentik." Aku reflek menengok dengan dua produk yang masih ada di tanganku; batagor instan dan mochi.

"Alfi? Ngapain di sini?" Jawabku setengah kaget.

"Tadi abis jalan-jalan aja di sekitar sini terus mampir beli titipan Mama. Kamu sendiri ngapain di sini?" Tanyanya sambil menunjukkan dua keranjang peuyeum.

"Eh, beli oleh-oleh aja sih. Besok mau balik soalnya" Jawabku dan Alfi hanya mengangguk.

Tiba-tiba suara ponselku menginterupsi kami. Saat ku lihat ID callernya, aku tersenyum.

"Hai, ngapain hari ini?" tanyanya di seberang telepon.

"Ini, lagi beli oleh-oleh. Kakak mau apa? Aku bingung nih mau bawain apa."

"Mau kamu pulang aja boleh ga?" Jawabnya dan aku tertawa.

"Iya besok pulang. Kakak udah selesai ujiannya?" Tanyaku.

"Udah, tapi ya udah pasrah aja sekarang"

"Pasti dikasih yang tebaik kok. Kakak kan udah usaha maksimal." Jawabku mencoba menyemangati. "Eh iya, jadinya mau dibawain apa?"

"Gak usah repot-repot De, tapi kalo ada ya mochi aja deh." Jawabnya dan kami tertawa. Sungguh, aku merindukan tawa itu.

"Ya udah aku beliin dulu ya, nanti kalo udah selesai aku kabarin Kakak." Jawabku dan ia menutup telpon kami.

TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang