[10] Senyum

3.8K 358 6
                                    

Ava ber-oh ria, tidak mau ikut campur lebih dalam. Dia juga tahu diri dirinya siapa.

"Makasih," tutur Ava pelan setelah lagu habis.

"Buat?" Varrel melirik sekilas ke arah Ava sembari memasukkan headset-nya ke dalam tas. 

 Hujan sudah mereda, berganti dengan gerimis kecil.

"Ka-karena lo satu-satunya o-orang yang nerima gue."

"Nerima?" Varrel mengernyit penuh tanda tanya. "Maksud lo... gue orang pertama yang kayak gini?"

Ava mengangguk.

"Astaga.... Gila ya pikiran anak-anak jaman sekarang. Masa cuman gagap dijauhin sih! Dasar otak sinting! Otak badak! Otak monyet! Otak——"

"Ba-balik yuk! Hu-hujan udah reda." Ava berdiri, memotong umpatan Varrel. Dia sedang tidak ingin membahas hal itu.

"Lo pulang naik apa?" Varrel menahan tangan Ava.

"A-angkot, a-atau taksi. Ka-kalau gak ada jalan kaki. Gampang."

"Bareng sama gue ya?"

Ava memelotot kaget. Bagaimana ceritanya seorang perempuan lusuh sepertinya, semotor dengan lelaki seperti Varrel? 

Tidak-tidak! Ava tidak mau mencari malapetaka!

"Eng... gak usah. Gu-gue bisa pulang sendiri, makas——"

"Ini orang baik ye yang ngajak, bukan lo kok. Jadi tenang aja, gak usah sungkan."

"Ta-tapi tetap aja, ki-kita baru kenal. G-gak enak semotor sa-sama lo."

"Terima aja ya? Please... Gue lagi nyari pahala nih."

Ava berpikir sebentar. Sepertinya memang tidak ada niat jahat yang terpancar dari mata Varrel.

"Kan gue udah janji, gak bakal jahatin lo. Jadi gue gak akan bawa kabur lo lah."

"Ayok ah!" Varrel menarik Ava menuju motornya yang terparkir. 

"Naik," Suruh Varrel yang sedang memakai helm.

"Eng-enggak ah! A-apa kata orang-orang nanti li-lihat kita——"

"Naik atau gue gendong?"

Ava tergelak. "K-kok maksa?"

"Gue cuman mau kita dekat gak benci-bencian. Kita kan sebangku, masa tiap hari mau jadi upil-ipil?"

"G-gak!"

"Oh minta di gendong anak ini."

Ava memekik keras sebelum Varrel sempat menyentuh kakinya. Dia kira pernyataan Varrel tidak seserius ini. "Da-dasar bejat lu ya!"

"Siapa suruh, tinggal naik aja kok susah."

"I-iya gue naik!" sungut Ava.

"Bagus." Varrel menaiki motornya.

Baru saja ingin naik, tiba-tiba Ava terdiam di tempat.

"Yaudah, gini aja. Gue gak bakal maksa. Kalau lo nerima tumpangan gue, berarti lo resmi jadi teman gue. Kalau mau pulang sendiri, yaudah gak papa. Selamanya kita jadi badut-tengkorak"

Ava tercenung. Waw, impresif! Masih ada ya orang baik yang bersikeras ingin menjadi temannya?

"Jadi?..." Varrel menyalakan motor.

Merasa tidak ada tanda-tanda Ava akan menjawab, Varrel pasrah. "Oke, gue duluan——"

Ava segera menahan bahu Varrel, duduk di jok belakang. Sah sudah hari ini dia menjadi teman Varrel.

Di heningnya perjalanan pun, Ava masih bingung dengan apa yang dia rasakan. Entahlah, sudah lama dia tidak merasakan perasaan segembira ini sampai menahan senyuman.





Lima belas menit berlalu setelah Ava menjawab pertanyaan Varrel yang bertanya dimana rumahnya.

Varrel memberhentikan motor setelah dia kira tempat pemberhentian denagan alamat yang Ava berikan telah akurat.

"Rumah lo di pasar?" Varrel bertanya menyadari tempat pemberhentian mereka di pasar kota yang ramai.

"I-iya, ke-kenapa?" Ya, Ava sedang berbohong. Mana mungkin dia berani membawa Varrel tepat di rumah mewahnya. Pertama, dia takut identitasnya terbongkar. Kedua, dia tidak mau menimbulkan buruk sangka kepada keluarganya. Biarlah nanti dia lanjut pakai taksi untuk sampai rumah.

"Dimana rumah lo?" Varrel melepas helmnya. Menyisir sekitar untuk mencari keberadaan rumah di kawasan mereka.

"A-ada. D-di belakang sana lah pokoknya." Jawab Ava gugup berharap Varrel segera pergi.

"Yasudah gue anterin sampai rumah lo."

HEEEEHHH!

"Ngg-nggak gak! Me-mending lo pulang aja ya. Ka-kasian orang rumah nungguin. Gu-gue bisa sendir——"

"Udah gak papa." Varrel menaruh helmnya dan ingin beranjak dari motor.

Untung Ava berhasil menahannya.

"Please Varrel. Ta-tadi gue udah nurutin per-permintaan lo. Se-sekarang lo turutin permintaan gue o-oke?" Rasya menyatukan telapak tanganya.

Varrel terdiam sebentar untuk kemudian menurut. "Oke. Tapi ada syaratnya."

APA LAGIIIII?! Ava mendengus dalam hati.

"Lo harus senyum."

"Hah?" Reflek Ava tergelak.

"Gue belum pernah lihat lo senyum." Varrel tahu cara membahagiakan gadis ini, walau sedikit.

"Emang sepenting itu ya?" Ava seperti tidak peduli.

"Penting! Senyum bisa membantu meredakan stres walau kita mungkin tidak tahu caranya tersenyum saat pikiran gundah. Menurut kesehatan psikologis, senyum bisa berefek pada sistem daya tahan tubuh manusia. Membantu lebih tenang dan rileks. Sebagai efek dilepaskannya neurotransmitter di otak," jelas Varrel panjang lebar. Lelaki itu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lebar juga. 

Benar, selama ini Ava lupa dengan sebuah senyuman yang bisa mewarnai hidupnya. Seharusnya tidak merasakan kebahagiaan bukan menjadi alasan untuk tidak tersenyum. Malah justru sebaliknya.

Perlahan tapi pasti, Ava menarik kedua ujung bibirnya lembut. Ada secercah kebahagian yang tercipta dalam dirinya. Menguburi sedikit demi sedikit rasa stress dalam otaknya.

"Nah, gitu kan cantik. Yaudah, gue pergi. Bye!"

<>

Instagram: writerrz_

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang