[15] Luka

3.4K 304 6
                                    

Padahal Ava sudah mempersiapkan ujian dengan sebaik-baiknya. Belajar giat pagi hingga malam, tapi mimpinya untuk bisa mendapat nilai tinggi hangus begitu saja saat melihat lembar hasil ujian. 

Pasti papa tidak akan mengampuninya kali ini.

Bisa dilihat, Ava sedang gusar memandangi nilainya yang anjlok. Ini semua karena Lidya!

Memang, Aurel sudah tidak lagi memanfaatkan Ava dengan cara menukar ulangannya seperti biasa. Namun masih ada Lidya. Antagonis si pemaksa. Setiap ujian berlangsung, Ava harus bertemu Lidya di toilet karena diancam. Waktu ujian mereka sama. Secepat apapun Ava mengerjakan soal Lidya, dirinya tidak akan sempat menyelesaikan soalnya sendiri. Alhasil, Ava hanya menjawab beberapa soal karena waktu terlalu mendesak.

Berbeda denga Ava, raut wajah Varrel tersenyum lebar melihat kertas digenggamannya. Semua nilainya patut diacungkan jempol.

Varrel menatap Ava. "Pasti lo dapat nilai bagus juga kan?"

Ava diam. Rasa takutnya lebih besar dibanding harus menggubris Varrel.

"Udah ngaku aja, pasti lo nilainya lebih tinggi. Secara lo kan lebih ambis."

Kata siapa? Ava menggeleng sedih.

"Mana sini coba lihat, gak percaya kalau nilainya jelek." Varrel mengintip. Untungnya Ava langsung melengkungkan lembarnya.

"Gak usah malu, santai aja kali." 

"G-gak!"

"Gak papa."

"Eng-enggak!"

Terjadilah perebutan diantara mereka. Kelas ramai dipenuhi siswa-siswi berdebat membahas nilai. Jadi kelakuan dua insan itu terlalu kentut.

Saat Varrel berhasil melihat hasil nilai milik Ava, dia langsung tercenung.

"Ma-makan tuh nilai! Pu-puas lo?!" Ava menggerutu.

"Kok bisa? Kan selama ini lo gigih belajar."

Ava hanya mengangkat bahu acuh.

"Gak fair banget ya?"

Ava mengangguk lesu.

"Gak adil."

"Hi-hidup memang gak adil y-ya?"

"Adil kok. Asal lo lihat dari sudut pandang yang berbeda."

Ava memutar bola mata malas. Otaknya sudah lelah untuk berpikir.

"Oke-oke. Gini aja, gimana kalau kita belajar bareng? Kebetulan gue ada kelompok belajar. Mau join gak?"

<>

Di halte menunggu angkot saja Ava tidak tenang. Dia terus memain-mainkan jari sambil menggigit bibir gusar.

Varrel yang duduk di sebelahnya berkali-kali menawarkan tumpangan pulang, tapi berkali-kali itu juga Ava menolak. Dia tidak segan-segan untuk mengancam Varrel jika berani menggendongnya!

Bukan hanya karena ancaman dari Ava Varrel jadi takut, tapi karena muka gelisah Ava yang keterusan, membuat Varrel tidak enak.

"Ayolaaah, please... lo mau tetep nunggu angkot sampai karatan?" 

"L-lo jangan pura-pura budeg ya, me-mentang-mentang lo punya motor, gu-gue miskin, se-seenaknya aja ngatur!" Ini hanya sebutir emosi yang bisa Ava keluarkan ditengah rasa cemas.

Varrel terpukau. Baru kali ini nada bicara Ava terdengar ketus.

"Lo kenapa sih? Sensi amat!"

Ava terlalu malas lagi untuk berbicara.

"Apa? Masalah nilai?" Varrel mengangkat alis.

"Ya maaf kalau tadi gue lancang, tapi..."

"Ah, sudah lah! Nilai gak masalah, gue tetap mau berteman sama lo kok."

Iya, gak masalah buat lo. Tapi masalah buat gue. Batin Ava

"Lo simpanse? Susah jawab gue?" Varrel menatap Ava jengah. "Lo mikirin apa s——Astaga! Nih anak kalau punya hobi aneh-aneh ya! Bisa-bisanya telunjuk sendiri diulek. Lecet kan jadinya!" 

Ava terkesiap karena aksinya telah dirampas Varrel. Lelaki itu dengan pelan meniup serta memperhatikan luka di ujung telunjuk Ava. Setelah itu dia menghela napas berat.

"Lo kalau pintar jangan setengah-setengah dong. Masa diri sendiri aja gak bisa jaga." Varrel membalut luka Ava dengan hansaplast yang selalu dia bawa.

"Sakit?" tanya Varrel setelah telunjuk Ava tertutup sempurna.

"Di-dikit."

"Yaudah, gak usah nyakitin diri lo sendiri."

"U-udah biasa."

"Lo janji sama gue." Varrel menatap mata Ava lekat sambil mengangkat jari kelingkingnya.

Alis Ava menyatu. Maksudnya?

"Jangan nyakitin diri sendiri." 

Kemudian Ava berdecak. "E-emang lo siapa? Gu-gue penting buat lo? L-lo penting buat gue?"

"Eng-enggak kan? Ma-makanya, te-terserah gue dong. Hi-hidup hidup gue."

"Penting," nada bicara Varrel terdengar serius.

"H-hah?"

"Lo penting karena lo manusia, bukan hewan. Wujud paling istimewa di muka bumi."

"Terus lo mau ngerusak aset dari tuhan gitu aja?" Sambung Varrel.

Ava terdiam. Mencerna setiap kata yang membuat pintu kepalanya terbuka lebar.

Ava menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha tersadar. "Ga-gak peduli! La-lagian juga gak ada ya-yang pentingin gue!

Varrel menggenggam tangan Ava erat.

Ava terbelalak. Jantungnya mulai bertempo tidak biasa.

"Gue peduli, lo penting."


Waduh, kenapa mendadak Ava merasa wajahnya menghangat? APA SEKARANG KETOMBE BISA TUMBUH DI WAJAH?!

Untungnya klakson angkot membuyarkan lamunan mereka.

"Le-lepasin," pinta Ava saat mau berdiri.

"Gak mau."

"Ko-kok jahat?"

"Lo belum janji."

Ava menghela napas. "I-iya-iya.... Gu-gue janji."

Perlahan genggaman mereka melonggar.

Ava memasuki angkot, peluh yang sempat keluar karena cemas sekarang keluar lagi.

Oke! Ava harus siapin mental ngadepin papa!

<>

Gue sensor ye bagian si kampret Arzan nyiksa Ava :( Gue gk tega🥺

Instagram: @writerrz_

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang