[30] Mimpi dalam koma

3.1K 274 4
                                    

Ava berumur tujuh tahun itu tengah memandang sendu kakaknya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Selang infus dan alat bantu pernapasan yang menjadi perhiasannya tiga bulan terakhir ini.

Keenan yang berumur delapan tahun itu sedang dalam masa koma. Pukulan Arzan yang membuatnya seperti ini.

Memang, Keenan dibawa ke sini atas suruhan Arzan. Namun setelah anak pertama itu dinyatakan koma oleh dokter, Arzan hanya menyuruh Ava untuk menjaga.

Setiap pulang sekolah, Ava berusaha meluangkan waktunya untuk berkunjung ke rumah sakit. Bahkan dia berkali-kali kepergok bolos pelajaran hanya untuk kabur ke rumah sakit.

Karena hal itulah juga nilai sekolahnya turun drastis. Tapi dia berusaha bertahan dengan pukulan murka Papanya atas nilai itu. Dia harus berusaha mempertahankan kakaknya yang sedang berjuang hidup dan mati.

Seorang perawat perempuan memasuki ruang rawat inap.

"Permisi, saya cek keadaan pasien dulu ya." Perawat itu tersenyum ramah.

Ava sampai hafal rutinitas perawat yang datang tiga kali sehari. Mengecek tabung infus, memperhatikan selang pernapasan, dan menghitung detak nadi.

"Kondisi pasien masih stabil. Ini lebih baik dari kemarin, imunnya meningkat."

Setidaknya Ava bisa sedikit lega mendengar kalimat itu.

"Orang tua kamu masih belum datang?"

Pertanyaan yang sama seperti hari sebelum-sebelumnya keluar lagi dari mulut perawat.

Ava menggeleng. Itu juga rutinitasnya ketika ditanya.

Perawat itu menghela napas prihatin. Setiap saat dia merasa kasihan dengan pasien ini. Setiap hari hanya adiknya yang merawat. Padahal mereka masih kecil. Harusnya mereka dapat dukungan orang tua. Di saat seperti ini kemana orang tuanya?!

Tapi perawat itu tidak bisa apa-apa. Selagi biaya rumah sakit telah terpenuhi, dia hanya bisa melakukan tugasnya sebagai seorang perawat.

"Yasudah, saya pergi dulu ya. Kalau ada apa-apa kamu bisa pencet bel."

Ava mengangguk.

Setelah itu perawat hilang di balik pintu.

Ava menggenggam tangan keenan yang terasa dingin. Menatap wajah kakaknya yang selalu pucat. Dia berusaha menahan tangis. Dia tidak mau kehilangan lagi! Dua bulan lalu, neneknya baru saja meninggal. Dan sekarang? Kakaknya di sini, berjuang antara hidup dan mati.

Ava kecil menggeleng-gelengkan kepalnya berusaha menjauihi pikiran buruk yang terus menggerayai otaknya. Tambah digenggamnya erat tangan Keenan seakan tidak terima jika orang itu pergi. Air mata tidak bisa dibendung saat dia meramalkan doa dalam gumaman. Membaca Al-fatihah yang sempat neneknya ajarkan dulu.

Beberapa menit setelah itu, mata Ava terbuka lebar saat tangan yang berada dalam kepalannya bergerak. Dia langsung menolehkan kepalanya menatap Keenan yang telah... Membuka mata?

Oh! Dia sangat tidak percaya ini! Tolonglah, semoga ini bukan mimpi.

Ava mendekat untuk memastikan.

Benar! Keenan telah sadar!

<>

Tapi sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berinteraksi.

Ava sering masuk kamar Keenan dengan membawa boneka. Bermaksud ingin bermain bersama kakaknya seperti waktu-waktu sebelumnya.

Namun Keenan hanya diam seakan keberadaan adiknya hanya angin lalu. Lelaki itu terus berkutat dengan buku dimeja belajarnya.

Setiap hari, Ava hanya melihat buku, buku, buku dan buku yang selalu menyibukkan Keenan.

Hanya itu, hanya itu akhir kisah mereka sebagai Kakak adik. Setelah itu mereka tidak pernah berbicara lagi sampai masing-masing beranjak dewasa.

<>

Instagram: writerrz_

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang