[33] Susu

3K 305 22
                                    


Ting.

Pintu lift terbuka, Ava berjalan keluar menuju pintu nomor 113. Dia memencet enam digit pasword hingga pintu terbuka. Dia tahu karena sempat melihat Keenan membuka pintu. Memang Keenan sengaja menampakkannya agar Ava bisa memiliki akses masuk ke apartemennya.

Krieet.

Ava ragu-ragu berjalan masuk. Kali ini niat kaburnya sudah lenyap entah kemana. Merasa tidak tahu diri saja jika dirinya masih memutuskan pergi.

Keenan tidak ada di sofa. Juga tak ada di ruang makan atau dapur. Pun dengan kamar, sudah Ava cek. Untungnya dia menyadari ada satu pintu yang belum dia buka. Balkon.

Saat Ava telah menyentuh gagang pintu, hidungnya mendengus aroma yang terasa tidak asing

Hmmm... susu cokelat?

Gadis itu mengintip.

Terlihat Keenan sedang duduk di kursi. Menatap langit malam, dengan secangkir susu cokelat ditanganya.

"Ava."

Gadis yang disebutkan namanya itu tergelak. Ini Keenan sungguhan memanggil nama panggilannya secara lengkap?!

"Ava, duduk sini," perintah Keenan lembut menepuk space kosong di sampingnya.

Ava pun menurut saja, meskipun agak gugup dengan posisi sedekat ini.

Keenan menggeser secangkir susu hangat yang dia buat sendiri.

"Minum."

Ava menatap Keenan. Ini tidak beracun kan?

"Nggak beracun, aman," jawab Keenan seakan mengerti raut wajah Ava.

Ava menatap cangkir yang berisi air cokelat itu. Embun-embun masih menari di atasnya, menandakan susu cokelat itu masih hangat. Ternyata, kakaknya masih ingat apa minuman kesukaannya.

Ava mengangkat cangkir itu dan meminumnya. Rasa manis yang memanjakan lidah, aroma yang membuatnya nyaman adalah alasan mengapa dirinya lebih suka minuman ini dibanding kopi.

Beberapa saat, mereka menikmati susu cokelat masing-masing. Udara malam terasa begitu dingin menerpa wajah Ava. Tapi untungnya badannya tetap hangat karena sweater tebal pemberian Keenan.

Di tengah keheningan, benak Ava selalu mengganjal dengan sebuah pertanyaan. Butuh beribu-ribu kali berpikir ulang apakah akan bertanya pada kakaknya atau tidak.

"Kak." Hanya menyebutkan tiga huruf itu, jantungnya sudah gemetar hebat.

"Hm?" Keenan berdehem.

"Ke-kenapa kakak tiba-tiba sebaik ini? Pa-padahal kan Ava bukan adik ka-kandung."

Setelah mencerna dengan baik, Keenan malah terkekeh. Ava jadi bingung, kenapa malah tertawa?

"Lo masih percaya sama omongan Papa?" 

Ava menyatukan alis, mengangguk.

"Setelah gue donorin darah buat lo, lo masih nganggep tiri?"

"Go-golongan darah A kan gak cu-cuman satu. Bi-bisa aja kebetulan kita sama." 

Keenan mengambil sebuah kertas dari bawah meja. Sepertinya dia sudah mengira hal ini akan terjadi.

"Lihat baik-baik."

Ava menatap lamat-lamat 'kartu keluarga' itu atas suruhan Keenan. Tapi setelahnya, dia mengernyit. Tidak ada yang salah kok.

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang