[25] Bakat Terpendam

2.6K 276 6
                                    

Priiit... Skor menjadi 1:2. Karena jarak lempar Varrel dari tengah lapangan, maka dihitung dua poin.

Tentu hal itu membuat satu aula tercengang. Tidak terkecuali Vion dan Bira. Pun dengan Iqbal melongo. Dewa dari manakah ini? Bukan kah barusan Varrel merebut bola saja tidak bisa? Dan sekarang tidak butuh waktu sekejap lelaki itu enteng sekali memasukan bola ke dalam ring.

Ahhh... Iqbal sekarang mengerti cara kerja Varrel. Diawal pertandingan, Varrel sengaja menyamar menjadi orang noob. Untuk memerhatikan gerak-gerik musuh supaya nantinya lebih gampang merebut bola.

Mendengar suasana aula yang agak berbeda dari sebelumnya, Ava mendongak dan membuka mata. Duduknya langsung tegak melihat papan skor. Bisa-bisanya!

Permainan terus berlanjut. Kali ini, Vion dan Bira menambah strategi. Dan Iqbal, dia tidak jadi ngambek.

Penonton pun kian bertambah. Beberapa mulai labil mau mendukung tim siapa. Pasalnya ternyata anak tuying itu juga jago bermain basket.

Tapi walaupun Vion sudah menambah strategi, Varrel masih dengan mudahnya mengambil alih bola dan melemparnya ke dalam ring. Dengan jarak yang sama seperti tadi.

Goal!

Rega mengganti skor menjadi 1:4. Mau bagaiman pun juga, dia harus tetap adil menjadi wasit. 

Penonton langsung bersorak. Beberapa penggemar Vion jadi berganti menyoraki nama Varrel.

Vion mendengus mulai terbakar amarah. Bertahun-tahun sekolah disini, namanya yang selalu disoraki! Ini kenapa jadi orang lain! 

Ronde berikutnya, tetap saja. Meski dengan amarah, Vion kewalahan mengambil alih bola dari genggaman Varrel. Lelaki itu ternyata melebihi kata jago. 

Bahkan Iqbal dari tadi hanya diam. Pun sampai lagi-lagi Varrel mencetak goal, Iqbal tidak ada campur tangan.

Bukannya tidak ingin turut membantu, namun gerakkan Varrel terlalu gesit seperti melupakan keberadaan Iqbal.

Priit!

Papan skor kembali berubah menjadi 1:6.

Ava bersorak gembira. Pun dengan penonton.

Iqbal memutuskan duduk menonton saja. Lagian di dalam lapangan dia juga tidak berguna.

Priit! Selanjutnya papan skor menjadi angka 1:8 meski 2 lawan 1.

Sepertinya Varrel memang tidak mengenal lempar dekat. Dari tadi lemparannya selalu telak dari jauh. Maka dari itu skornya tidak pernah satu.

Pun ronde berikutnya. Skornya terus bertambah.

1:10.

Diujung ronde, hal yang mengejutkan terjadi. Kali ini Varrel melempar bola dari ujung lapangan. Dan itu berarti, dia langsung mendapat 3 poin. 

Priit! 

Permainan berakhir dengan skor 1:13.

Varrel pemenangnya.

"WHOOOOOOWW!" sorak satu aula bertepuk tangan. 

Ava loncat saking gembiranya. Bukan karena akhirnya Vion dan Bira akan minta maaf kepadanya, tapi sebagai teman, wajar dong dirinya ikut bangga.

Varrel membungkuk bertopang lutut. Ditengah-tengah napasnya yang tersengal, dia tersenyum sumringah menatap sekitar. Dia rindu masa-masa ini.

"Anjing tuh bocah!" umpat Vion menatap Varrel dengan peluh di pelipis. Tidak menyangka lawannya sejago ini.

Bira yang tersengal-sengal ikut kehabisan akal. Bagaimana bisa ada adik kelas berani mengalahkannya.

"Kayaknya Varrel juga mantan tim basket," pikir Vion

"Sebenarnya gue udah firasat dari tadi, wajah Varrel gak asing."

Varrel hanya memamerkan senyum pada Vion sebelum menjauhi lapangan.  

Melihat Varrel berjalan mendekat, Ava segera merogoh tas mencari handuk dan sebotol air untuk dia berikan kepada Varrel.

Tapi saat Ava kembali menghadap depan, ternyata Varrel sudah dikerubungi banyak siswi. Diantaranya mengangkat handuk untuk mengelap keringat Varrel, menyodorkan botol air minum, dan mengipasinya. Mereka semua memuji kehebatan Varrel dalam bermain basket tadi. 

Maklumlah, kehebatan Varrel dalam mengontrol bola basket itu mengundang rasa klepek-klepek bagi kaum hawa. Jadi tidak butuh waktu lama lagi, nama Varrel bisa langsung tenar.

Varrel sampai jengah harus melayani yang mana dulu. Banyak botol terulur padanya, sampai banyak handuk mengulek pandangannya! 

TERUS INI GIMANA CARA JALANNYA WOI!

Ava hanya bersedekap menonton pameran itu. Sesekali tertawa melihat komuk Varrel yang kesusahan melayani para fans. Lucu sekali!

Tapi bunyi ponsel berdering menyela kegiatannya. Ava mengangkat ponselnya tanpa menengok.

"Ha-halo?"

"Varrel?—Eh? Ini siapa?" tanya wanita paruh baya di sebrang sana.

Ava langsung mengernyit. Memandangi ponsel yang di genggamnya. Astaga! Ini HP Varrel! 

"Eh, ha-halo bunda. i-ini Ava," ucapnya sambil terus berusaha mengirim kode pada Varrel dengan lambaian tangan.

"Oh Ava, Varrelnya mana? Kok hapenya sama kamu?"

"I-iya Bun, Va-Varrelnya lagi gak di sini, ma-makanya Ava angkat."

"Memangnya kalian dimana?"

"Ma-masih di sekolah."

"Jam segini masih di sekolah?!"

Akhirnya tatapan Varrel dan Ava beradu juga.

'Siapa?' tanya Varrel dari mimik wajahnya.

Karena itu Ava mengangkat ponsel ke udara. 'Bunda lo.'

"Halo?" ulang suara dari dalam panggilan karena lama tidak ada jawaban. 

Sontak Ava kembali mendekatkan ponsel ke teliga. "Eh-eh, i-iya bun? kenapa?"

"Varrel dimana?... Kalian ngapain sih!"

"I-Ini Varrel habis main basket, habis itu pulang—"

"ASTAUGHFIRULLAH ANAK ITU MAIN BASKET LAGI?!"

Reflek Ava menjauhkan HP keburu telinganya pekak mendengar teriakan perempuan itu.

"Ava!" gertak suara dalam panggilan membuat Ava bergidik.

"I-iya Bun?..."

"Mana Varrel!"

Melihat wajah serius Ava yang menyuruhnya ke sini, Varrel terpaksa menyibak kerumunan dan berlari ke arah Ava. Diambilnya Hp-nya dan menaruhnya di telinga. Langsunglah suara omelan ibunda tercintanya masuk ke indra pendengaran.

"BILANGIN KE VARREL! JANGAN BERANI MAIN BOLA LAGI! APA DIA LUPA PINDAH KE SEKOLAH INI PEYEBABNYA APA? GAK KAPOK-KAPOK APA YA DIA ITU? AWAS SAMPAI RUMA—"

Tut.

Varrel memutuskan panggilan.

"Lo ngasih tahu kalau gue main basket?" Tanya Varrel was-was.

Ava mengangguk polos.

"Mampus gue!" Varrel meremas rambutnya frustasi.

<>

Instagram: writerrz_

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang