Chapter - 54. Day Without Her

3.7K 300 14
                                    

HAPPY READING 📖

----------------------------------------------

Terbangun di pagi hari, Jay melirik ke sampingnya. Kosong. Kosong secara penglihatan maupun perasaan. Terkadang saat bangun ia bisa melihat bibir merah itu terbuka atau mengerjainya. Atau saat ia keluar kamar, akan ada suara bising yang mengganggu. Kini, keluar pun semuanya tampak berbeda. Hampa.

Ia menghela napas lalu berbenah diri. Ia tahu akan ada asisten baru lagi. Jika tidak, Ben yang akan menjadi asistennya. Hanya satu yang pasti, ia lebih menginginkan Zoe menjadi asistennya daripada siapa pun. Ia hanya membutuhkan Zoe untuk memperhatikannya lebih jauh. Ia tidak membutuhkan siapa pun selain Zoe yang menerima kekurangannya, bukan hanya kelebihan. Hanya Zoe yang tahu apa maunya. Tidak akan ada yang mengerti selain Zoe.

Ia ke lemari, mengambil pakaiannya untuk membersihkan diri. Tanpa disadari, tangannya mendapatkan sesuatu. Kerutan di dahi semakin jelas saat ia mengambil benda persegi yang tipis itu. Melihatnya, ia tertawa geli. Kertas foto yang menampilkan enam grid saat mereka di photo booth. Untung saja Zoe memaksa ia menerimanya, jika tidak ia benar-benar akan menyesal. Dielus foto itu. Terbesit di pikiran ia akan membuat bingkai foto ini untuk mengganggap Zoe masih ada di dekatnya. Hanya ini satu-satunya kenangan yang ia miliki dan akan ia jaga baik-baik. Dihela napas sejenak kemudian meletakkan kembali ke lemari dan mengambil pakaian yang semula ingin diambil. Setelahnya, ia ke kamar mandi untuk melakukan aktivitas pagi.

***

Menuruni tangga, ia melihat Ted mengenduskan ekornya. Lagi-lagi yang terbayang adalah si mungil yang bermain dengan Ted. Biasanya setiap pagi pasti ia akan melihat Zoe dan Ted bermain-main dengan kondisi kotor. Atau, Zoe bisa saja di dapur sedang membuat sarapan.

"Kudengar Zoe sudah pergi, ya?" Jay menoleh, mendapati Troy duduk manis di ruang tamu sembari menyuapkan makanan ke mulut.

Ia hanya berdehem sebagai jawaban.

"Sayang sekali. Padahal aku mau melakukan perpisahan terakhir." Jay tak menanggapi karena ia tak mau lagi diingatkan tentang Zoe. Setidaknya ia harus belajar move on. Tak selamanya ia harus berpikir tentang Zoe seorang. Tak selamanya juga keinginan ini bisa terkabul. Setidaknya jika ia tak dipertemukan lagi, ia berhasil menjalin hidup denan seseorang. Jika bertemu, ia pastikan tidak akan melepas sosok itu yang sudah masuk ke cengkraman.

"Sudah berkenalan dengan asisten barumu?" Jay menggeleng malas lalu duduk di sebelah Troy.

"Kudengar dari Ben asistenmu ini laki-laki."

Jay melongo, lalu terpekik histeris. "What?!"

Troy mengangguk. "Tapi itu kudengar-dengar, bisa saja bukan itu."

Jay menelan ludah tak sedap. Asal mereka tahu, ia ingin yang seperti Zoe. Gadis asia, pendek, mungil. Atau jika bisa, ia ingin Zoe saja yang menjadi asistennya. Sial! Ia malah menjadi pria plin-plan. Padahal niat awal ingin move on.

Keduanya menoleh ke pintu, mendapati Ben masuk bersama sosok gadis bertubuh gempal dan pirang, bertubuh langsing dan tinggi, terakhir berbadan sintal dan wajah Asia.

"Siapa mereka?" tanya Troy memecah keheningan.

"Calon asisten Jay," jawab Ben. Saat matanya menangkap sosok Jay, ia berkata, "Pilih yang mana kau mau."

Jay berdecak. Tanpa perasaan ia langsung berteriak, "Kau gila?! Aku butuh waktu untuk menerima ini, tapi kau sudah membuatku harus memilih lagi?!"

"Jadi kau mau menunggu sampai kapan? Tidak ada asisten, aku yang kotar-katir," jawab Ben malas. Sejujurnya ia sudah tahu respon Jay, tapi ia menjalankan rencana ini agar tidak dipersulit.

"Ya, tunggu saja! Aku masih tidak percaya harus punya asisten baru!"

"Karena sudah terlanjur nyaman dengan Zoe?" tanya Troy.

"Ya!" jawab Jay cepat. "Aku sudah nyaman dengan dia. Tidak ada yang mengerti aku selain dia. Hanya dia yang tahu apa mauku!" katanya berapi-api, menumpahkan kekesalan karena Ben tidak memberitahunya sejak awal. Ia masih butuh proses untuk beradaptasi dengan perlakuan orang baru padanya.

Tatapan Troy berubah sayu. Ia mengerti. Anak itu memang hebat. Auranya sangat memikat dan tahu cara memperlakukan orang lain hingga membuat siapa pun nyaman. Ia kini percaya. Cantik itu akan kalah dengan sosok yang membuat nyaman. Dan Zoe yang bisa menjadikan itu nyata untuk hidupnya.

"Aku tidak mau yang lain! Aku mau Zoe dan tetap dia! Jangan tunjukkan wajah-wajah memuakkan itu di hadapanku kecuali dia!" tukasnya tajam, tak peduli mereka ini sakit hati. Itu lebih baik agar mereka tak berharap lebih dengan menjadi asistennya. Karena semua hati sudah ia serahkan untuk Zoe. Jika ada sisa, ia pun tak yakin akan mencintainya sepenuh ia mencintai Zoe. Jay hendak beranjak karena kekesalan semakin memuncak. Bukan kesal lagi, ia hampir marah. Marah pada diri sendiri karena munafik. Nyatanya, ia menginginkan Zoe semakin dalam. Nyatanya, ia lebih banyak berandai-andai.

"Tunggu," sela Ben. "Yang ini mungkin kau menyukainya," kata Ben disertai smirk.

Dada Jay berdebar. Apa itu Zoe? Apa ada kejutan untuknya di pagi hari ini?

"Masuk," kata Ben lantang. Semua mata ke arah pintu, melihat sosok gadis mungil menunduk sembari melangkah pelan memasuki apartemen.

"Zoe!" Jay setengah berlari, menghampiri gadis pendek itu kemudian memegang bahunya. Gadis itu mendongak, membuat Jay menelan ludah. "Owh."

"Dia Zeya. Bagaimana? Kau mau yang ini?"

Euforia yang semula melanda, kini meredup dan menghilang. Ia berbalik, kembali ke kamar karena mood-nya berubah drastis. "Akan kupikirkan," ucapnya sembari menjauhi mereka.

Ia mengambil foto yang di lemari kemudian berbaring. Dielus foto itu, sesekali tertawa mengingat kenangan yang mereka lalui. "I miss you," gumamnya rendah. Ditarik dan dibuang napasnya berkali-kali. Ia tak terima takdir ini. Kenapa harus membuatnya bak orang gila? Bahkan tak lepas dari sosok itu? Jika sebelumnya ia tak suka, kini ia benar-benar sudah tersihir.

Pikirannya melayang pada calon asistennya yang baru. Ia pikir itu Zoe. Gelagat mereka sama saat pertama kali berjumpa. Ia pikir itu Zoe yang berakting. Ternyata, khayalannya terhempas. Hanya sedikit ia merasa bahagia dengan hadirnya sosok itu karena berpikir itu Zoe.

Ia memiringkan tubuhnya, melihat lebih jelas dan lama foto itu. Foto dengan gaya berantakan, namun menimbulkan sensasi menggelitik.

Kini ia menyadari ....

Hari tanpanya adalah kosong.

Hari tanpanya adalah sepi.

Hari tanpanya adalah sakit.

Karena ia menyadari, hari tanpanya cukup tak berarti.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Assistant For A Year ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang