Chapter - 45. Ignored

3.3K 297 15
                                    

HAPPY READING 📖

-------------------------------------------

Pagi-pagi sekali Zoe langsung menemui, ralat mengejar yang Jay yang terlihat sempoyongan di dapur. Ia menunjukkan ponselnya dengan mata membulat lebar.

"Kau meneleponku semalam? Kenapa? Kau butuh sesuatu? Kau membutuhkanku tadi malam?" tanya Zoe bertubi-tubi. Ekspresinya benar-benar penuh penyesalan.

Jay tak menjawab, bahkan melirik. Pagi ini ia tak ingin suasana hatinya buruk. Daripada menjawab, lebih baik tak mengganggap bocah ini ada, kan? Ia juga masih kelelahan dengan acara menunggu semalam.

"Jay, maaf. Aku sama sekali tak tahu. Aku meninggalkan ponselku di kamar karena menunggumu pulang. Aku pikir kau akan pulang cepat, tapi-tapi ternyata bukan kau! Ben dan teman-temanmu datang dan ... aku-aku tak tahu ...," lirih Zoe dengan sirat permohonan untuk dimaafkan. Ia memang tak tahu dan tak terpikirkan dengan ponsel. Yang ada di otaknya semalam hanya JAY! Ponselnya pun ia tinggalkan di kamar karena di-charge dan menunggu di ruang tamu untuk merayakan ulang tahunnya bersama Jay. Ia pun tak mengira Ben beserta teman-teman akan merayakannya. Alhasil, dengan ponselnya pun sudah tak terpikirkan, ditambah lagi khawatir pada Jay. Saat ia ke kamar tadi malam, ia membuka ponsel sebagai rutinitas malamnya, namun terkejut mendapati panggilan tak terjawab yang sangat-sangat-sangat banyak. Bahkan ada pesan Jay yang menyuruhnya untuk ke suatu tempat.

Asal Jay tahu, ia semalam tak bisa tidur. Ia ingin bertanya lebih, memastikan sesuatu. Hingga jam tiga subuh ia tak bisa memejamkan mata. Sekarang ini, kepalanya sedikit pusing karena efek insomnia. Tapi tergantikan dengan rasa penasaran yang akan terjawab. Ia harus membujuk Jay untuk memaafkannya dan memberikan jawaban.

Jay meneguk susu putih itu dengan mata terpejam, menulikan telinga. Setelahnya, ia meletakkan kasar gelas itu ke meja dan pergi.

"Jay ...," panggil Zoe, namun tak mendapat sahutan. Apa Jay sangat marah? Apa Jay merasa tersinggung panggilannya tidak dijawab? Apa kemarin Jay membutuhkan sesuatu yang mendesak? Rasa bersalah semakin berakar. Kalau tahu begitu, ia memeriksa ponselnya terlebih dulu atau setidaknya menghubungi Jay. Tapi-tapi, ia juga takut Jay akan terganggu jika ia menelpon.

"Jay, I'm so ... so ... sorry ...." Zoe mengikuti ke mana pun Jay pergi. Ia membuntutinya dengan wajah muram. Bagaimana bisa ia melupakan hal penting ini. Bahkan hampir 50 panggilan tak terjawab dari Jay. Sumpah, ia benar-benar merasa sangat bersalah.

"Shut up," ujar Jay dingin. Teramat dingin dengan raut datar dan aura yang tak pernah ditunjukkan sebelumnya. Zoe tahu, jika orang sudah bertingkah seperti ini, artinya mereka benar-benar marah.

Jay kembali ke kamar, meninggalkan Zoe yang mematung dengan mata berkaca-kaca. Ia meneguk ludah berkali-kali. Apa ia memang mengecewakan? Ia tahu Jay pasti sangat kecewa, marah, kesal, tapi ia juga tidak tahu Jay membutuhkannya. Andai waktu bisa diputar ulang, mungkin ia akan mengecek ponselnya dan kejadian ini tidak akan terjadi.

Ia menghapus air mata yang menetes ke pipi. Ini adalah sakit hati yang paling serius. Ia beranjak dan ke dapur. Sebagai permintaan maaf, ia akan melayani Jay sepenuhnya. Walaupun Jay tak suka, ia harus tetap melayani karena penebusan dosa. Apalagi ia tidak tahu Jay sudah makan atau belum.

Ia ke dapur, mulai memanaskan masakan sisa semalam. Ia harus membuatnya menjadi lebih enak agar Jay berubah pikiran. Ia tidak bisa didiamkan. Ia harus bisa membuat ini semua kembali seperti sedia kala.

Makanan telah selesai. Ia menatanya begitu rapi di meja makan beserta jus jeruk yang ia buat sepenuh hati. Ia membersihkan dapur sejenak sembari menunggu Jay keluar dari kamar. Ia benar-benar harus memberikan Jay penjelasan. Dari hati yang paling dalam, ia merasa bodoh karena tak memeriksa ponsel, menyentuhnya pun tidak. Tapi ... ya, sudahlah.

Assistant For A Year ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang