Chapter - 56. Loser

3.7K 286 17
                                    

HAPPY READING 📖

------------------------------------------------

"Dari mana Anda mendapat ide untuk menulis cerita tersebut."

Gadis itu tersenyum lebar, menebarkannya ke penonton. "Dari pengalaman."

Semua masih terdiam, mencermati jawaban dari sosok yang di luar dugaan. Ada yang berpikir jika Lonely Girl adalah sosok wanita tua seperti J.K Rowling atau pria seperti Nicholas Sparks. Bahkan saat mendengar marganya, ada yang mengira Zoe Christoper memiliki hubungan dengan Nicholas Sparks. Padahal berbeda. Malah, Nicholas Sparks pun sepertinya tak mengenal Zoe Christoper.

"Aku pernah bilang pada sosoknya. Aku ingin menjadi asistennya karena aku ingin mendapatkan pengalaman. Karena aku tahu pengalaman tidak akan bisa dibeli. Dan ini, kutulis ceritaku dan ceritanya karena aku merasa kami unik."

"Jadi ini kisah nyata?"

Gadis itu menaik-turunkan alis hingga sorakan pun terdengar.

"Siapa pemeran pria di buku Anda?"

"Pria terbaik yang pernah kutemui. Pria ketus, namun terselip kelucuan. Aku tidak menyesal mengenalnya." Gadis itu tersenyum lebih dulu lalu kembali berkata, "Aku tidak ingin memberitahu karena dia hanya untukku."

Sorakan kecewa terdengar hingga ia terkikik geli.

"Apa saat menjadi asistennya, Anda sudah merencanakan ini?"

"Tidak, sebenarnya tiba-tiba kepikiran saja. Sedang mencari ide, tiba-tiba kuambil saja dari pengalaman ini."

"Apa sudah ada bocoran mengenai novel Anda yang akan terbit?"

"Tidak ada bocoran, bahkan tanggal yang kutetapkan bersama penerbit untuk dijual. Semuanya akan tiba-tiba ada saat kalian ada di toko buku. Karena aku mau konsep berbeda kali ini. Saat aku mendapat inspirasi untuk menulisnya secara tak sadar, maka aku akan menerbitkannya juga secara tiba-tiba."

Pewawancara itu tertawa. Sosok berkacamata dengan tampilan seperti kutu buku, terus bertanya, mengorek informasi dari sosok Zoe.

"Kalau boleh tahu, judul novel kali ini apa?"

Zoe malah tertawa, sedangkan yang lainnya kebingungan.

***

"MOM!" pekik Zoe girang. Setelah acara temu yang diadakan oleh penerbitnya, akhirnya ia bisa bernapas lega. Ia pun tak menyangka bisa sampai 300 lebih peserta yang hadir. Semula, ia ragu karena personal branding-nya masih tidak sebagus penulis-penulis lain. Tapi antusiasme penggemar sepertinya melumpuhkan itu. Saat datang saja, ia kaget bisa sebanyak itu hingga mulutnya lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Ia berlari memeluk tubuh gempal yang berdiri bersama ayah dan dua saudaranya. Mereka datang di saat yang tidak tepat. Padahal ia ingin mereka melihat bagaimana dengan pintarnya ia menjawab. Sekaligus menunjukkan jika anak mereka telah sukses.

Ia memeluk bergantian ayah beserta dua saudara iblisnya. Apalagi dengan adik bungsunya, Dyan. Mereka bak Tom and Jerry, tapi jika berjauhan, akan saling rindu.

"Bagaimana acaranya? Berjalan dengan baik?" tanya ibunya sembari mengelus rambut pendek yang beberapa hari lalu telah ia potong.

Zoe mengangguk, melepaskan kebahagiaan, berharap juga menularkannya pada mereka. "Everything is okay. Walaupun agak gugup, tapi ternyata semua berjalan sempurna."

"I knew it. Kau terbaik!" puji ibunya. Sang ayah hanya terdiam, menatapnya dalam hingga saat ia bertatapan dengan sang ayah, kecanggungan melanda. Hubungannya dengan sang ayah memang tak membaik, juga tak buruk. Ya, setengah-setengahnya. Bukan tak ingin memperbaiki hubungan itu, namun untuk memperbaikinya teramat sulit. Seperti porselen yang retak, untuk mengembalikan bekas retakan pasti tidak akan mudah, bahkan tak pernah seperti sedia kala. Prosesnya begitu panjang. Itulah yang ia rasakan. Canggung, takut, dan semua perasaan yang mungkin tak seharusnya ada, tetap saja bercokol. Mungkin bila ada yang mengalaminya, akan mengerti. 

Assistant For A Year ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang