HAPPY READING 📖
---------------------------------------
Jay terbangun dari tidur dengan kondisi agak lumayan dari sebelumnya. Badannya mulai terasa ringan hanya saja kepalanya masih pusing. Ia mengambil posisi duduk dan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang sembari memijit pelan kepalanya. Mata yang semula tertutup, kini terbuka dan mendapati asisten mungilnya duduk di sofa sembari mengetik dengan earphone hitam yang menancap di telinga.
"Hey, bocah!" panggilnya sedikit keras nan serak. Bisa ia lihat bocah itu terkejut lalu mengelus dada.
"Yes, Mr. Gould?" Zoe melepaskan earphone-nya.
"Ck, stop call me that, Zoe! Call me Jay! Do you hear that? Jay, call me Jay! Is that hard?" Jay memekik kesal. "Do you have ears? I have told you don't call me that!"
Zoe mengerjapkan mata. Semula ia sedang melanjutkan ceritanya yang tersendat di laptop, harus kembali berurusan dengan dunia nyata yang menghadapkannya pada Jay. Ia terkesiap atas pekikan itu. Diletakkan laptopnya ke sofa kemudian beranjak ke tepi ranjang Jay untuk memberinya segelas air hangat.
"Sorry, Jay. Padahal lebih enak menggunakan margamu."
"I don't like it. And stop call me Mr. Gould." Zoe mengangguk-angguk sembari menuangkan air panas yang berada di termos ke gelas lalu menuangkan kembali air biasa yang di poci untuk membuat air hangat.
"Minum ini. By the way, tubuhmu sudah agak mendingan?" tanya Zoe sembari memberikan gelasnya. Saat berada di tangan Jay, ia mengambil obat yang sudah ia sediakan di atas meja lalu memberikannya lagi. "Minum ini juga."
Jay tak membantah. Ia sudah membuat rencana untuk mengganggu bocah ini saat ia sembuh. Anggap saja sebagai pembalasan dendam.
"Ben sudah pulang?" Selesai minum obat, Jay menarik selimutnya lebih dekat hingga sebatas pinggang lalu mengamati si Mungil menata gelas di atas nakas.
"Sudah. Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Zoe.
"Memangnya ini sudah jam berapa?"
"Jam enam sore."
"What?" pekik Jay, terkejut karena tidak sesuai dengan perkiraan.
"Kenapa kau terkejut?"
"Kupikir masih jam dua siang. Ngomong-ngomong perutku sangat lapar. Masakkan sesuatu yang enak untukku." Jay mengulum bibir bawahnya, berpikir rencana awal apa yang harus ia berikan pada Zoe.
"Hanya ada bubur yang tersisa," kata Zoe. Rautnya tak yakin jika Jay mau dan benar saja, pria itu berdecak seolah sudah menolak makanan sejak ia menyebutnya.
"Jangan itu! Aku mau mual melihatnya! Masakkan yang lain. Seperti makanan mereka contohnya."
"Tidak. Ingat, kau belum sembuh total. Aku berjanji akan memasakkanmu makanan enak tapi bukan sekarang. Memangnya kau sudah baikan? Padahal kulihat kau masih sempat-sempatnya memijit kepala." Zoe bersorak dalam hati. Mendapati Jay hanya diam, ia yakin Jay akan menuruti kemauannya.
Jay memutar bola mata. "Terserahmu. Aku malas berdebat!"
"Nah, begitu! Ini harus sesuai dengan keinginan kami. Orang sakit biasanya suka berbicara yang tidak-tidak."
"Jadi kau pikir aku membual? Memang kau mau kupecat, huh!" Jay bersedekap dada, tampak tersinggung. Baru kali ini ia sakit, tapi direndahkan. Baru kali ini ia sakit dianggap sekarat. Bagaimana tidak kesal, sejak kemarin ia tidak boleh melakukan apa pun, dirawat seperti manusia hampir tak bernyawa, dan sekarang saat ia sudah hampir sembuh, Zoe malah mengejeknya. Argh, kepalanya memang ingin meledak mengeluarkan kekesalan yang tak menyurut. Jika ia sudah baikan, ia akan mengepit kepala itu di ketiaknya sebagai bentuk kekesalan yang teramat menjengkelkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assistant For A Year ✅
रोमांसPertama kali publish : 14 Febuari 2020 [PRIVATE ACAK] . Dalam masa pencarian asisten, ditemukan sosok bertubuh mungil, cerewet, namun pemalu dan terkadang pendiam oleh Benedict Handryson untuk seorang model seksi yang banyak keinginan, Jay Gould. Pe...