Chapter - 11. Relieved

4.3K 396 7
                                    

Vote wee vote! 🤣🤣

HAPPY READING 📖

---------------------------------------

Paginya, Ben dan Jay memasuki kamar Zoe. Jay duduk di sofa, sedangkan Ben duduk di samping ranjang Zoe. Dilihatnya gadis itu masih berbaring di ranjang dengan kompres demam yang mulai menipis. Selimut yang membungkus tubuhnya, dinaikkan sampai ke leher hingga kepalanya saja yang terlihat.

"Bagaimana keadaanmu? Mulai membaik?" Zoe mengangguk. Ia mulai duduk walau kepalanya terasa pening. Sangat. Matanya melirik sekilas ke arah Jay dan ia memutuskan kontak mata mereka karena merasa bersalah mengacaukan pestanya semalam. Apalagi melihat Jay yang terus menatapnya, ia semakin takut. Ia pasrah. Setelah ia sembuh, ia sangat yakin surat pemecatan sudah ada di kamarnya dan ia harus tahu diri segera pergi tanpa banyak melawan.

"Kau istirahatlah. Kau diliburkan sampai sembuh."

"Sepertinya aku sudah baik-baik saja. Hanya sedikit lemas. Mungkin kalau aku tetap bekerja, tubuhku akan semakin membaik. Tenang, daya tahan tubuhku kuat." Ia tersenyum lebar. Ia ingin bekerja di detik-detik pemecatannya. Lagi pula, jika ia berdiam diri di kamar ini dan setelah itu dipecat, ia tidak membawa apa-apa ke rumah. Ia hanya membawa kenangan malu dan mengerikan!

"Diam. Jangan membantah. Kau harus benar-benar sembuh. Kalau tidak, kau tidak akan bisa bekerja dengan baik."

"Tapi aku bisa, Ben. Aku merasa sudah membaik." Ia tetap kukuh pada pendiriannya. Bohong, ia tidak semakin membaik. Malah panas di tubuhnya semakin meningkat.

"Aku tidak percaya! Lebih baik kau istirahat lagi. Kalau kau sudah sembuh, baru boleh bekerja."

"Ish, Ben!" Ben mengelus kepalanya dan tersenyum. Bukannya ia tidak tahu jika Zoe berbohong. Menyentuh sekilas tubuhnya, rasa panas malah semakin menjadi-jadi.

"Kau harus sembuh. Kau tidak mau, kan, menjadi asisten tidak becus?" Zoe mengangguk dan tersenyum masam. "Maka dari itu kau harus sembuh total. Ke depannya, kami akan sangat sibuk jadi kami butuh bantuanmu."

Zoe lagi-lagi mengangguk. Ia baru sadar Ben menggunakan kata kami. Apakah itu artinya Ben dan Jay yang membutuhkan bantuannya? Jay membutuhkan bantuannya? Benarkah? Atau tim Jay? Dan itu artinya ia tidak dipecat?

Hampir mulutnya ia tanyakan, namun Ben langsung mencegah. "Jangan banyak bicara. Istirahatlah." Ia mengatupkan lagi mulutnya dan mengangguk bodoh walaupun pertanyaan itu masih mengelilingi kepala.

Ben berdiri dan melirik Jay yang mengeluarkan senyum tipis. "Idolamu ingin berbincang denganmu."

Zoe ternganga dan melirik Jay sekilas.

Really?

Ben mengangguk menjawab pertanyaan Zoe yang terpancar dari matanya.

"Aku keluar dulu." Lalu meninggalkan mereka di dalam.

Jay mendekat dan mengganti posisi Ben duduk di ranjang dekat Zoe.

Ia mengulas senyum tipis melihat gadis ini menunduk.

"I'm sorry, Mr. Gould. Aku tidak bermaksud mengacaukan pestamu semalam. Aku tahu aku salah, tapi percayalah wanitamu semalam lebih salah. Dia yang mencari perkara lebih dulu. Tapi, aku tidak mau membahas tentang dia. Aku tahu aku salah, dan aku minta maaf. Kau pasti malu karena aku. Maaf." Suaranya merendah. Ia menerima segala bentuk kata-kata kasar yang akan keluar dari mulut Jay. Ia terima dan dengan lapang dada ia mendengarnya. Tapi tak akan semudah itu membuat ia membenci Jay.

Jay mengangkat tangannya lalu mengelus rambut Zoe. "Istirahatlah."

Ia berdiri dan segera keluar dari kamar meninggalkan Zoe yang terpaku.

"Tadi itu apa?" Zoe menetralkan debaran jantungnya yang mulai bermain. Kenapa Jay mengelus rambutnya? Apa ini artinya ia tidak dipecat?

***

"Kau memang kurang ajar, Casey! Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku tapi melihatmu mencampurkan sesuatu ke minumanku, kau memalukan! Aku bahkan menyalahkan dan mempermalukan orang yang jelas-jelas tidak bersalah!" Jay berteriak kalap di apartemen Casey. Ia memang harus meyelesaikan pemasalahan tak berguna ini dan meminta penjelasan. Di hadapannya, Casey berdiri sembari bersedekap dan wajah santai wanita itu membuatnya muak. Ia tak menyangka Casey berani melakukannya. Ia sama sekali tidak pernah berpikir ada orang yang dekat dengannya berani berbuat sesuatu mencurigakan.

"Aku melakukan apa yang harus kulakukan, Jay. Untuk apa kau membelanya. Dia memang salah. Lagi pula aku hanya meletakkan obat perangsang di minumanmu. Apa itu salah?" Ucapan Casey malah menyulut emosinya. Hanya? Kenapa semudah itu wanita ini mengatakan, hanya?

"Sumpah! Aku tak habis pikir dengan isi otakmu! Kenapa tidak kau lakukan saja apa yang kau mau tanpa mencampurkan itu? Aku sudah mempermalukan orang lain dan sayangnya dia hampir mati karena kau!"

"Ck, dia sendiri yang membuat masalah. Dia menggagalkan rencanaku dan itulah yang harus dia dapat. Tapi sekarang dia masih hidup, kan? Ya, sudah untuk apa masalah ini diperpanjang." Casey mendekati Jay dengan mata menggelap. Melihat bagaimana Jay marah-marah, ia tergoda.

"Aku tidak berselera denganmu. Pergilah!" Jay mendorong tubuh kurus itu yang berani menyentuh tubuhnya di balik kaos hitam. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukan apa-apa pada Casey. Sama sekali tidak berselera.

"Oh, c'mon, Jay. Kita lakukan. Aku sangat lapar." Casey menggigit bibir lalu hampir meraup bibir Jay, namun kepala pria itu malah menjauh dan mendorong keras tubuh Casey hingga mundur beberapa jarak darinya.

"Cukup! Aku benar-benar muak! Sudah kukatakan aku tidak berselera dan tolong jangan ganggu aku!" Sesuai dengan kepribadiannya, ia berucap tanpa memikirkan perasaan orang lain. Itulah yang ia lakukan pada Casey. Lagi pula wanita seperti Casey sulit untuk disuruh menjauh. Ia mendelik tajam dan meninggalkan Casey yang bergeming di tempat.

"Memuakkan!" decihnya. Pikirannya sudah berantakan dan ini disebabkan oleh Casey. Selama ini ia hanya terpaksa mengikuti apa pun keinginan Casey, namun sekarang tidak lagi. Semuanya harus dibereskan dan ia tidak mau benalu semacam Casey berada di sampingnya. Semua penganggu harus ia berantas.

Ponselnya diambil dan mendial nomor Ben lalu didekatkan benda itu ke telinga.

"Batalkan semua jadwal pemotretanku. Aku lelah." Lalu mematikannya secara sepihak. Bukannya ia tidak tahu Ben marah-marah di ujung sana. Tapi, ia tidak peduli. Sama sekali tidak peduli dan lebih baik ini waktunya untuk beristirahat. Tenaga dan otaknya sudah terkuras. Semalam ia sama sekali tak bisa tidur karena memikirkan gadis mungil yang tengah sakit di apartemennya. Bagaimana tidak? Ia telah mengeluarkan kata-kata kasar dan ternyata Zoe berniat baik padanya. Mungkin kalau tidak ramai, masalahnya akan berbeda. Namun, ia membentaknya kasar. Bahkan mengatakan ingin memecatnya. Sekarang, untuk memecatnya saja ia ragu sekaligus merasa tidak enak.

Motor ninja ia parkirkan di garasi dan menutup pintunya kembali. Kakinya melangkah masuk ke apartemen dan menemukan Ben yang sudah berdiri tegap di depannya dengan wajah datar dan tak bersahabat, seakan menyambut kehadirannya di depan pintu.

"Oh, Ben. Tolong, aku lelah dan ingin istirahat. Jangan banyak mengoceh. Kepalaku terasa ingin meledak." Tanpa banyak basa-basi, ia melewati Ben yang mengerutkan alis lalu menaiki tangga. Sebelum memasuki kamar, ia menyempatkan diri untuk memasuki kamar Zoe. Masa bodoh dengan kesopanan, ia hanya ingin memastikan bahwa Zoe baik-baik saja.

Pintu itu dibuka pelan, sepelan mungkin dan mengintip melalui celah. Bola matanya mencari keberadaan Zoe dan seketika ia mendapati Zoe tengah duduk sembari memunggungi pintu, dengan tangan yang asyik mengetik di keyboard laptop. Telinga yang disumbat menggunakan earphone, sudah ia duga gadis ini tidak sakit lagi. Bahkan bersenandung kecil mengikuti irama lagu.

Dasar! Ia panik, malah gadis ini santai-santai. Namun, bukannya marah, ia tersenyum tipis dan menutup pintu kembali. Ia lega, akhirnya rasa bersalahnya menguap begitu saja. Akhirnya ia tidak menanggung rasa bersalah ini terlalu lama.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Assistant For A Year ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang