Chapter - 53. Separate

3.4K 287 28
                                    

HAPPY READING 📖

----------------------------------------------

Zoe terlelap di dada Jay. Tak terasa pagi sudah menjelang. Ia mendongak, mendapati wajah tenang Jay terlelap. Ia juga merasakan tangan Jay memeluknya. Ia berharap ini bisa terus begini. Namun, waktu terus memaksa keinginan yang tak ia mau. Matanya tak berkedip memandangi Jay sampai puas. Baru kali ini ia terbangun sebelum Jay membuka mata. Akhirnya, ia bisa sepuas ini melihat Jay terlelap, melihat idola sekaligus cintanya menunjukkan raut tenang. Dikecup bibir merah Jay sejenak, kemudian terkikik.

Puas memandangi wajah tampan Jay, ia memanggilnya lembut.

"Jay."

Tak mendapat respon, ia memanggil lagi. "Jay."

"Eugh?" Jay berdehem. Ia malas membuka mata. Sangat malas. Karena sejujurnya ia sudah bangun sejak tadi, hanya saja tak ingin lagi membuat hatinya semakin sakit melihat gadis ini menjauhi ranjang, keluar dari kamar, terparahnya keluar dari apartemennya. Ia tahu Zoe mengecup bibirnya dan terkikik. Ia tahu karena ia tidak bisa tidur dari semalam. Setiap menutup mata, ia takut Zoe tidak lagi berada di pelukannya. Ketakutan itulah yang membuatnya tak bisa tertidur nyenyak.

Tak ingin membangunkan Jay, Zoe bangkit sepelan mungkin. Ia sudah harus bersiap-siap karena Ben akan menjemputnya. Setelah lepas dari pelukan Jay, ia berdiri sembari menatap lekat Jay yang masih memejamkan mata. Pelan-pelan ia menguatkan diri untuk tak menangis keras.

Keluarnya Zoe dari kamar, Jay membuka mata, menatap nanar pintu yang sudah tertutup. Hal yang ia takutkan dari tadi malam sudah terjadi. Zoe pergi dan tak akan kembali secepat yang tak bisa ia perkirakan. Ia tak punya nyali untuk menahan Zoe walau ia ingin. Ia tak pernah merasakan begitu besar keinginan untuk menahan seorang gadis untuk tetap di sisinya. Ia ingin menahannya, namun ia tahu tetap tidak akan mungkin.

Ia menelungkupkan badan, berpura-pura tidur karena ia tak mau mengantar kepergian Zoe. Walaupun ia juga tak yakin ia bisa memejamkan mata karena saat ini pikirannya dipenuhi Zoe. Walaupun saat ini ia sangat-sangat tak terima dengan tamparan kenyataan. Lebih baik begini, ia tak perlu membuat perpisahan mereka semakin menyedihkan. Mata biru yang biasanya tersirat lelucon, kini menyiratkan kepedihan, bahkan tidak berkedip hanya untuk menyadarkan dari kenyataan

***

"Jay, aku pergi," pamit Zoe dengan senyum canggung di depan pintu yang terbuka. Jay masih berbaring di ranjang, menelungkupkan tubuh seakan tak peduli.

"Hm, pergilah." Bohong, itu semua tameng. Ia ingin mengatakan ia tidak mau membiarkan Zoe pergi. Ia ingin menahannya dan membawanya ke pelukan, merasakan hal sama seperti malam itu. Ia tahu tetap saja tak bisa. Ia pun tak mau melihat wajah itu karena bisa saja pertahanannya runtuh. Berkali-kali ia mencoba menebalkan hati ini yang terus terombang-ambing.

"Bye, Jay. I love you," katanya untuk terakhir kali. Ia menutup pintu dengan hati pedih. Seharusnya memang seperti ini, bukan?

Jay mengepalkan tangan. Tak seharusnya Zoe mengacak-acak pertahannya. Ia sekuat tenaga menumbuhkan pertahan yang semakin terkikis-kikis, namun hanya kalimat itu saja ia hampir goyah ingin menangkap pergelangan tangannya dan membekap tubuh mungil itu di bawah kuasanya agar tidak pergi ke mana pun.

Ia beranjak bangun, melihat kepergian Zoe dari kaca kamar. Ia tak berani menatap langsung sosok mungil yang telah mencuri hatinya. Gelar pecundang kelas kakap telah disandangnya sekarang. Ia benar-benar pecundang sejati yang meratapi kepergian gadisnya pergi jauh. Damn! Kenapa sesak begini? Ia ingin berlari, menarik tubuh mungil itu ke dekapan. Namun, ia tahu jika ia melakukannya, ia tidak akan melepaskan Zoe. Harus berapa kali ia mengatakan jika ia di situasi dilema?

Zoe menangis kecil sejak menjauh dari kamar Jay. Ia memasuki mobil Ben dan duduk sembari menunduk, membiarkan Ben menatapnya aneh.

"Berhentilah menangis, Zoe." Ben mengelus lembut punggung Zoe. Sudah ia perkirakan mereka saling mencintainya. Firasatnya waktu itu sudah jelas saat Jay tidak memperpanjang kontrak. Jujur saja, ia pun direpotkan karena harus merekrut asisten baru yang pastinya tidak mudah. Tapi, ia sesekali ingin memberikan Jay pelajaran untuk tidak bertingkah seenaknya meskipun harus kedua pihak yang tersakiti.

"Perpisahan ini menyakitkan, Ben. Seandainya dia tetap membenciku, aku akan pergi dengan kecewa, bukan sedih ...," lirihnya. Ia menangis keras sembari meletakkan kepalanya di dasbor. Tangan mungilnya terkepal, memukul dasbor, menumpahkan tangisnya yang tak henti. "Dia bahkan tak menunjukkan wajahnya. Aku-aku-aku mencintainya, Ben! Tolong sampaikan padanya!"

Mata Ben berkaca-kaca. Ia menghapus sudut matanya lalu kembali mengelus lembut punggung Zoe. "Sudahlah, kau membuat pria jantan ini pun ingin menangis."

Zoe tak mau diam. Ia tidak mau berhenti sampai sesak ini pergi. Ia tidak mau berhenti mengeluarkan cairan bening sampai ia benar-benar berpisah di depan kantor Ben.

Ben menghidupkan mesin mobil lalu mengendarainya pelan-pelan. Tak ada musik yang menemani, hanya suara tangisan Zoe dan deru mesin yang menjadi melodi. Karena memang semenyakitkan itu berpisah dengan orang yang dicintai.

***

"Aku ingin melihat Jay sekali saja, Ben," pinta Zoe, menatap Ben dengan tatapan berharap. Mobil telah berhenti, namun keinginan untuk kembali masih menguat. Ia ingin menatap Jay sekali saja sebelum pulang, sebelum ia melakukan kehidupan awalnya. Sebelum ia harus pergi ke berbeda tempat karena menempuh perjalanan lain.

"Aku akan menelponnya dan mengajaknya video call." Zoe mengangguk cepat dengan wajah sembab dan mata bengkak. Jantungnya berdebar tak sabar.

Ben mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu menghubungi Jay. Dalam dering pertama, memang langsung dijawab.

"Halo?"

"Dia ingin mengajakmu video call sebentar, Jay."

"Bilang padanya kalau aku sibuk."

"Sekali saja, Jay. Katanya kau mencintaiku!" tutur Zoe tak terima. Hening sejenak. Suara tangisan yang sudah reda, mulai terdengar. "Kau jahat! Kau menjatuhkan harapanku! Sekali saja kau tidak mau?"

"Tidak." Sambungan langsung dimatikan. Zoe menangis histeris. Semua itu bohong. Jay tidak serius dengan ucapannya kemarin. Jay tidak mencintainya. Tapi kenapa ia terasa sulit tidak mempercayainya?

"Ben ...."

Ben merengkuh Zoe ke pelukan. Ia pun agak tak rela Zoe harus pergi. Karena kontraklah mereka harus terpisah. Ia mengelus kepala Zoe lembut, membisikinya kata-kata menenangkan.

"Dia bilang dia mencintaiku. Tapi kenapa aku tak bisa melihatnya sekali saja? Dia bohong!" protes Zoe. "Kenapa dia suka sekali berbohong? Apa dia marah? Aku sangat ingin melihatnya terakhir kali, Ben. Aku tak tahu apa aku bisa menemuinya lagi atau tidak! Aku ... aku mencintainya!" Ia memeluk Ben erat, mengeluarkan sakit hati yang terus menancap. Perpisahan ini menyakitkan dan ia membenci ketika dipisahkan dengan sosok yang ia cintai. Sudah kedua kali ia merasakannya, namun yang ini lebih parah. Jay sudah menyerap cinta yang ia miliki sepenuhnya. Apalagi mengingat isi kontrak untuk tak bertatap muka, membuat sakit ini semakin membara.

Ben mengelus punggung Zoe, selembut bulu. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia sangat tahu perasaan yang akan timbul dari mereka berdua sejak awal. Zoe yang menarik perhatian dengan daya tarik, Jay pula ikut luluh walaupun gengsinya lebih mendominasi. Ia tahu Jay pasti tersakiti di seberang sana. Ia tahu gengsi Jay memenangkan sifat pria itu kali ini. Atau ... bukan gengsi, melainkan takut lebih sakit hati melihat kepergian sosok dicintai?

.

.

.

TO BE CONTINUED

Assistant For A Year ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang