Chapter - 50. Crazy of Her

3.2K 279 21
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------------------

Jay memasuki mobil dengan teman-teman yang sudah menjemputnya. Ia berniat berbalik, melihat Zoe sebelum pergi. Namun, karena gengsi yang terlalu melekat, tak ia lakukan. Dari ekor mata, ia tahu Zoe berdiri tak jauh dari mobil sembari melambaikan tangan. Senyum itu masih bertengger manis. Serius, ia ingin menoleh.

Hingga mobil melaju, ia tetap pada posisinya. Teman-teman yang mengajaknya berbincang pun tak ia pedulikan. Punggungnya ia sandarkan. Selama beberapa hari ini ia dan Zoe saling diam-diaman. Biasanya Zoe akan membuka percakapan, kini tak lagi ia dapat. Padahal ia sengaja membiarkan Zoe berisik seperti biasa. Kebisingan di mobil bukannya menyenangkan, semakin menyurutkan suasana hati. Ia ingin keluar, menyendiri seperti yang pernah ia lakukan. Ia jenuh, ia ingin kembali ke apartemen. Ia tahu saat ia meninggalkan apartemen, ada yang tertinggal. Sosok itulah yang tertinggal. Kini ia akui ia tidak bisa berjauhan dengan sosok itu. Sosok yang semakin mencuri semua perhatian.

***

Zoe mengedipkan mata sejenak. Ada kekosongan di sini. Di dalam dada. Organnya lengkap, namun ada celah yang tak ia ketahui dan seperti harus diisi. Ditelan saliva dengan susah payah lalu berbalik. Ia ke kamar, membuka laptopnya kemudian tak sengaja matanya menangkap kalender. Terbesit ingatan, ia mengambil kalender itu kemudian membelalakkan mata. Seminggu lagi. Hanya seminggu lagi ia memiliki waktu menginjakkan kaki di sini.

Rasa sakit menusuk dada perlahan. Mata sipit itu melengkung ke bawah, sendu. Tak rela meninggalkan apartemen ini, tak rela ia harus menghentikan kenangan. Tak rela ia harus menjauh dari Jay dengan jangka waktu cukup lama. Apa Jay tidak tahu kontraknya akan berakhir? Atau, Jay sudah tahu, namun tidak ingin memperpanjangnya?

Setetes air mata membasahi kalender. Kenapa sesakit ini? Ia tak tahu apakah Jay memiliki perasaan yang sama padanya atau tidak. Jika ada, izinkan ia untuk mencintai Jay sepenuhnya. Jika tidak, biarkan ia memendamnya sendiri asalkan ia dan Jay bisa bersama. Ia tahu dunianya dengan dunia Jay berbeda. Jay seorang model, sedangkan ia hanya penulis yang terlalu menutup diri. Inilah sebab ia menutupi diri dari khalayak. Ia tidak mau dijadikan gosip. Ia tidak mau berita tak jelas mengatasnamakan dirinya.

Dihela napas selembutnya kemudian meletakkan kembali kalender itu di meja. Ia duduk di kursi. Jemarinya siap menulis kembali, mengetik kata-kata, membuat cerita yang akan terbit sebulan lagi. Kali ini, semua emosi ia tuangkan. Senang, kesal, sedih, hingga sakit hati. Sakit karena cintanya harus kandas tanpa perjuangan.

***

Setelah menghabiskan berjam-jam di pesawat, kini ia telah menginjakkan kaki di Phuket, tepatnya Big Buddha—tempat wisata yang menampilkan patung Buddha raksasa di atas bukit. Terlintas ide yang membuat bibirnya tertarik ke atas. Seandainya saja ia membawa Zoe ke sini, mungkin akan berbeda lagi suasana yang ia rasakan. Sebelumnya, ia tiba-tiba ingin ke sini. Tempat yang pertamanya ia kunjungi sebagai saran dari Triple D. Katanya, Big Buddha adalah tempat yang bisa melihat pemandangan seluruh Phuket dari puncak bukit. Bahkan tampak jelas teluk-teluk yang mengitari kota Phuket seperti Chalong Bay, Phang Nga Bay, dan Kata Bay. Belum lagi saat sunset, tampak jelas matahari terbenam. Semua keindahan kota Phuket bisa tampak jelas. Jika Zoe di sampingnya, mungkin ia akan menungggu sampai matahari terbenam, menikmati dengan mata telanjang keindahan alam bersama sosok di rangkulan. Ia tersenyum miring. Terbesit kerinduan yang tak tertahankan. Ia ingin pulang, mengajak Zoe ke sini. Jika Zoe tak mau, ia akan memaksa. Sayang, itu semua hanya angan-angan.

Ia ke puncak bukit, berdiri sejenak sembari memejamkan mata di bebatuan dan meletakkan tangannya di penyangga, menghirup udara segar menjelang malam. Netra birunya memandang ke depan, teluk-teluk dengan air tenang. Ia kini menyendiri. Seperti yang pernah ia lakukan. Tak ada yang mau diajak ke tempat ini. Mereka sibuk mencari kelab untuk minum dan memuaskan diri. Ia yang mulai menghindari hal itu, memilih ke tempat ini, berharap menemukan jawaban atas perasaan yang tak menentu sejak ia keluar selangkah dari apartemen. Lagi pula, acara reuni diadakan besok siang secara besar-besaran. Bukannya bersenang-senang, ia malah gusar.

Zoe, gadis mungil bertubuh berisi dan imut itu menjadi sumber masalah. Ia harus menelaah perasaan ini dan berharap mendapat jawaban sampai ia pulang. Ia tak ingin hubungan mereka merenggang seperti kemarin-kemarin. Selain hubungan merenggang, komunikasi sehari pun tidak. Hanya bertanya ini-itu, selanjutnya saling diam.

"Permisi." Seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh, menatap tepat di bola mata gadis bertubuh ramping dan tinggi itu tersenyum malu. Ia menaikkan sebelah alis, bertanya.

"Boleh, fotokan aku? Melihatmu berdiam sendiri, itulah sebabnya aku meminta pertolonganmu. Semuanya sibuk dengan aktivitas mereka jadi aku sulit menemukan orang yang bisa membantuku," jelas gadis itu. Jika ditelisik lebih jauh, gadis ini mirip dengan ... Zoe? Hanya saja postur tubuhnya yang berbeda. Wajah bulatnya serupa, namun tak sama. Ah, ia pasti hanya berkhayal.

"Boleh." Setelah diberi izin, gadis itu menyodorkan ponselnya kemudian menjauh, berdiri di dekat bebatuan, menyangga tangannya membentuk lipatan, lalu menoleh ke samping sembari membuka sedikit mulutnya dan menatap lekat kamera.

Jay tertegun. Ia tidak salah lagi. Wajah mereka lumayan mirip. Apalagi tatapan sayu itu seakan menancap tepat ke ulu hati. Ia mengatur auto fokus dengan dada berdebar. Tidak mungkin ia membayangkan Zoe sampai segila ini, kan?

"Done." Setelah mengambil beberapa jepretan, Jay mengembalikan ponsel pada pemiliknya.

"Terima kasih."

Jay mengangguk. Saat gadis itu berbalik hendak pergi, tiba-tiba mulutnya terbuka cepat. "What's your name?"

Gadis itu tersenyum manis. "Lufie." Kemudian menunduk kecil dan pergi.

Jay mengerutkan dahi. Dari nama mereka sja sudah beda. Ah, sial! Ia memang hampir gila. Ya, ia akui. Ia hampir gila karena sosok itu.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Ada yang masih ingat Lufie siapa? Hayooo, tebak gais!

Assistant For A Year ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang