(12) Calon Suami

167 26 1
                                    

Syabab memarkirkan mobilnya di garasi, setelah rapi cowok itu turun dari mobil sembari menenteng kantung plastik yang berisi makanan untuk adik tercinta dan dirinya sendiri. Sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau kedua orang tuanya sudah berada di rumah, Syabab langsung membuka pintu untuk menemui Ira.

Saat pertama ia melangkahkan kaki dan melewati pintu utama, indra pendengarnya langsung di suguhi suara tv yang menyala sedikit keras. Langsung saja, Syabab bergegas menuju tv.

"Abangnya pulang gak di bukain pintu," sindir Syabab.

Duduk di samping Ira yang ternyata sedang memejamkan matanya, mungkin Ira tidak sadar kalau tv masih menyala. Syabab berjongkok dan mengelus puncak rambut adiknya lalu menepuk pipi Ira sedikit keras supaya cewek itu bangun.

"Hm?" gumam Ira.

"Bangun, makan," ujar Syabab.

Ira mengerjapkan matanya, mengubah posisinya menjadi duduk lalu melirik Syabab yang sedang berjalan menuju dapur untuk mengambil piring. Ira menoleh ke belakang, ia mengambil surat dari sekolah yang sudah kusut karena di duduki dirinya.

"Mas," panggil Ira agak lirih setelah Syabab sudah duduk di tempat semula.

"Dalem," jawab Syabab, masih sibuk mengeluarkan beberapa potong ayam. Syabab menyingkirkan bagian paha nya untuk Ira, sedangkan dirinya bagian dada. Mengalah.

"Besok anterin ke sekolah ya?" tanya Ira, sebenarnya ia bingung mencari alasan.

"Kenapa hm?" tanya Syabab.

Ira meringis, memberikan surat tersebut kepada Syabab. Cowok itu langsung membacanya dengan teliti, sesekali menatap Ira yang masih meringis. Berpose layaknya orang polos dan berharap Syabab tidak akan marah kepada dirinya.

"Nyuri apa?" tanya Syabab.

"Mangga yang kemarin aku makan hehe," ujar Ira.

Syabab menghela nafas. "Jangan di ulangin."

"Iya, tapi Mas mau ke sekolah? Jangan ngomong sama mama ya?" pinta Ira dengan wajah memelas.

Sebenarnya Syabab ingin mengatakan kepada Triana kalau Ira melakukan hal tersebut. Namun, setelah melihat raut wajah adiknya yang sangat takut itu, niat tersebut di urungkan.

"Iya. Makan, Ra," ujar Syabab singkat.

Ira menahan untuk tidak memekik. Turun dari sofa lalu duduk lesehan bersama Syabab, Ira memeluk cowok itu dari samping.

"Makasih, Mas," ujar Ira.

Syabab mengangguk. "Sama-sama."

* * *

Di meja makan Syabab masih diam, tidak memperdulikan ocehan Ira yang sangat berisik di samping. Triana dan Tio hanya menggelengkan kepala dan sesekali tertawa dengan kelakuan putri bungsunya.

Ira memiringkan kepalanya, menatap Syabab yang sedang makan dengan kalem. Kalau saja Syabab tidak tutup mulut dan berbaik hati pergi ke sekolahan besok, pasti Triana malam ini tidak tertawa dengan candaan Ira.

"Mas Syabab mau nambah?" tanya Ira.

Syabab melirik. "Nggak."

"Mas jangan gitu dong, kasian tuh Ira kan lagi baik sama kamu," ujar Triana. Membela Ira.

"Emang nggak mau nambah, Ma," ujar Syabab malas.

Tio berdehem. "Gimana sama kuliah kamu Mas?"

"Baik, Pa," jawab Syabab singkat.

"Mas Syabab kan ngambil manajemen, kalo Ira udah lulus SMA mau ngambil apa?" tanya Tio.

Ira tersenyum sumringah. Meletakan sendoknya terlebih dahulu dan mulai mengetuk-etuk jidatnya seolah berfikir keras.

Eh, Mba CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang