(42) Calm

77 16 0
                                    

Selamat Membaca^-^

****

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Naja sampai di tempat Ira. Cowok itu mengenakan kaus berwarna hitam dibaluti dengan jaket denim yang membuat Naja semakin keren di mata Ira. Namun, karena suasana hatinya sedang tidak mendukung. Ira tidak terlalu fokus dengan penampilan Naja yang mencuri banyak perhatian orang-orang disana.

Sudah beberapa menit Ira masih berusaha mengusap air matanya di jalan tersebut. Padahal di sebrang jalan sana, ada Cafe yang bisa saja ia kunjungi. Daripada menangis di pinggir jalan dan di lihat banyak orang. Tapi keberuntungan ada di pihak Ira, tidak ada orang yang ia kenali sedang melewati jalan tersebut.

"Jangan nangis terus, matanya kan jadi merah," ujar Naja menghapus air mata yang masih tersisa di pipi Ira. Cowok itu masih menenteng helm full face nya di tangan kiri, motornya di parkir asal-asalan tapi tidak sampai menghalangi jalan.

"G-gue nggak bisa berhenti na-nangis, Kak."

Ketika Ira berucap jujur seperti itu sambil ucapannya terbata-bata, malah terlihat sangat imut di mata Naja. Cowok itu menahan diri untuk tidak mencubit pipi yang menggemaskan di depannya.

"Ke sana dulu, cerita sama gue," ujar Naja. Menunjuk Cafe yang ada di sebrang.

"Kalau na-nti ada yang kenal gue? Aaa, su-sah banget ngomongnya," ujar Ira. Menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Walaupun sudah tidak menangis, nafasnya masih tersendat-sendat. Membuat Ira sangat susah berbicara.

"Turun dulu," ujar Naja.

Ira menurut, ia turun dari motornya. Naja langsung memarkirkan motor Ira dengan benar lalu disusul motornya sendiri di samping motor cewek itu. Tak lupa Naja membawa tas Ira dan kuncinya masing-masing.

Menggandeng tangan Ira untuk menyebrangi jalan. Ira membalas genggaman tangan Naja dengan erat karena tiba-tiba matanya menjadi blur, air matanya kembali keluar tiba-tiba.

Setelah sampai di pintu, Naja hendak masuk tetapi ia mendengar isak tangis. Naja menoleh ke belakang, tangannya beralih memegang bahu Ira dan merapatkan ke tubuhnya. Sebenarnya Naja bingung mengapa Ira seperti ini, ia tidak pernah melihat Ira menangis.

"HP lo mana, Ra?" tanya Naja.

Ira mengeluarkan handphonenya dan menyerahkan kepada Naja. Naja langsung mencari kontak yang dinamai Mama. Naja menelfon wanita itu sebelum ia masuk ke dalam Cafe.

"Mau ng-ngapain?" tanya Ira.

"Minta izin pulang telat," jawab Naja.

Ira menjauh ketika telepon itu terhubung.

"Assalamu'alaikum, Tante. Saya Naja."

'Wa'alaikumsalam, loh Naja? Ira kemana?'

"Ira ada disini, saya mau minta izin ke Tante Ira pulangnya telat. Boleh nggak?" tanya Naja. Ia berharap Triana memberikan izin dan bisa percaya kepadanya.

'Udah sore banget ini, kalian mau kemana? Berdua doang?'

"Nggak berdua kok, ini cuman makan di deket sekolah. Tapi karna perjalanan ke rumah Ira masih jauh, jadi saya minta izin. Takutnya Ira dicariin sama Tante," jelas Naja.

'Oh gitu, rame kan disana? Nanti pulangnya jangan kemaleman ya, Ja. Jangan macem-macem sama anak Tante,' ujar Triana.

Naja mengangguk. "Iya, Tan."

'Tante mau ngomong sama Ira, inget jangan apa?'

"Jangan macem-macem," ujar Naja.

Ya ampun, rasanya Naja sangat senang karena mendapatkan izin secara langsung. Walaupun ini bukan pertama kalinya ia meminta izin kepada Triana, tetap saja Naja mempunyai ketakutan jika Triana tidak bisa percaya kepadanya.

Eh, Mba CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang