D u A P u L u H T i G a

125 26 9
                                    

Kali ini ia mengerang kesakitan mengiris bekas luka tepat di garis yang sama dengan luka yang ia dapat saat masih menginap di Werresman.

"FUCK!" Ia tidak dapat menangis sekuat apapun ia mencoba.

Craat!

Ia menggores lengannya satu kali lagi, mengapa tidak ada rasa sakit? Ia yakin ia seharusnya menangis.

Dadanya bergerak naik turun, sudah lelah dengan segala upaya untuk dapat kembali merasakan rasa sakit.

Pandangannya mulai berkunang, Harry melipat kedua tangannya di depan lutut lemas sembari mengistirahatkan kepalanya di pundak. Andai ia bisa menutup dirinya lebih rapat, gadis itu tidak akan mencuri hatinya.

Nafasnya kian bergemuruh, dengan putus asa ia mengambil tiga pil penenang di atas nakas dan menenggaknya sekaligus dengan segelas wine.

Harry tidak menyangka harus berurusan dengan obat-obatan lagi, ia menekan dadanya kuat mulai merasa gemetaran. Obat itu adalah resep dari jaman dahylu lalu, siapapun tahu tidak akan ada gunanya menggunakan resep obat lama.

Mungkin ia harus membuat tragedi kecelakaan dan berpura-pura seolah ia sudah kehilangan pita suara agar tidak lagi berhubungan dengan orang-orang.

Bagus, masalahnya apakah hari ini ia bahkan bisa bertahan?

Kelopak matanya yang terbuka separuh kian memejam. Samar-samar di antara alam bawah sadar, ia mendengar suara seseorang tengah memanggilnya.

***

"Harry Potter!"

"H-Harry?" Amicia menaikkan satu alisnya mengernyit.

"Benar, itu adalah salah satu nama paling populer di Inggris. Kau tau pangeran Harry?"

"Umm, tidak... Tapi ibuku pernah bilang Inggris memiliki kerajaan."

Nyonya Smith tersenyum. "Jadi, Harry Potter adalah seorang penyihir."

Amicia agak mencebikkan bibirnya sembari berpangku tangan. "Aku tidak suka namanya." Ia sudah tak segan bersikap seperti seorang cucu di hadapan nyonya Smith.

"Itu nama yang bagus, kau akan menyukai usai kau menonton filmnya."

"Ada filmnya? Kukira kau bercerita tentang buku?" Amicia kembali duduk antusias.

"Ada banyak film di dunia ini, Eroda hanya menayangkan sinetron klasik murahannya di televisi."

"Entahlah, aku tidak punya TV..."

Nyonya Smith tersenyum. "Aku akan minta putriku untuk mengirim satu set kaset Harry Potter untuk kita tonton bersama."

"Wahh... Putrimu pasti orang yang sangat berpengaruh, ya? Itu film luar, 'kan?"

"Bisa dibilang begitu, aku akan menghadiahkan laptop untukmu."

"Hah?! Laptop? Untuk memutar filmnya?"

Nyonya Smith mengangguk, Harry pasti juga tahu akan hal seperti ini namun pria itu justru memutuskan untuk menjalani hidupnya yang membosankan. Lagi-lagi Amicia bertanya apa yang sedang pria itu lakukan.

"Nyonya, aku bermimpi buruk semalam."

"Woah, apa itu? Mungkin aku bisa menebak artinya."

"Aku bermimpi gigiku copot." Ujar Amicia sembari menunjuk mulutnya.

Wajah Nyonya Smith tiba-tiba saja menunjukkan keresahan. "Aku pernah membacanya di artikel, biasanya diartikan sebagai kesedihan, kehilangan seseorang yang dicintai, atau yang paling parah...meninggalnya orang yang berarti."

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang