T i G a P u L u H E m P a T

100 22 1
                                    

Wanita itu tersungkur di sudut ruangan sembari menutup wajah, tubuhnya yang kurus terlihat rapuh sementara ia hanya bisa berjongkok di sudut ruangan.

Bulir air mata mengalir tanpa suara isak, ia sudah merasa seperti seorang jalang sekarang. Pria konglomerat bernama Dickinson itu rutin mengunjunginya di pagi hari, menggunakannya tanpa ijin hingga ia harus terpaksa mengunci kamar anaknya.

Knock... Knock...

Ketukan itu terdengar berulang kali, gadis kecilnya tidak pernah tahu akan apa yang sudah ia sepakati dengan pria bajingan di hadapannya.

"Mom... Buka pintunya."

Wanita itu mendongakkan sedikit wajahnya, pria itu bahkan tidak terlihat terburu-buru. Akan tetapi ia sudah memakai atasan dan celana panjangnya bersiap mengenakan mantel bulu.

"Kumohon pulanglah, tuan."

"Beraninya kau mengusirku? Aku ingin makan, suruh anakmu keluar tak masalah."

Wanita itu tak berdaya, dengan pundaknya yang lemas ia membuka kamar anaknya dan tersenyum pahit.

"Mom, kenapa lama sekali?"

"Aku baru saja memasak." Padahal ia belum sama sekali memulai, mata bulat di hadapannya membuat ia tak kuasa kembali menahan tangis. "Duduklah bersama paman, aku akan menyiapkan makananmu."

Wanita itu pergi ke dapur kecilnya yang terhubung dengan ruang tamu dan ruang makan. Dadanya terasa sesak seiring degup jantungnya yang semakin mendebar— seperti sesuatu tak henti-hentinya berdentum di dalam sana. Ia akan membunuh pria itu apabila ia sampai menyentuh putrinya.

Tak lama ia merasakan kehadiran pria itu di sebelahnya, tangan kotor itu melingkari pinggangnya hendak turun ke bawah sana.

Tangannya bergemetar seiring ia menyediakan sepanci air rebus, bahkan setelah apa yang ia lakukan pria ini belum puas mengolok harga dirinya.

Dengan sengaja ia menyikut perut pria itu dan menjatuhkan sendok supnya, tanpa melihat ia tahu putrinya sedang memperhatikan. Tidak ada mainan seperti boneka atau apapun yang membuatnya teralihkan. Sungguh menyedihkan, ia sudah tidak tahan.

"Aku akan menarik kesepakatan kita apabila kau sampai membuatku jengah..." Bisik rendah suara garang itu mematikan.

Garis-garis takut menekan di wajah tirusnya yang lunglai.

Sampai kapan pria bernama Harry itu akan datang?

***

Amicia melakukan pekerjaan mendekorasinya dengan baik usai memutuskan bahwa ia akan mengadakan pesta makan malam di rumah mewahnya bersama Harry. Walau tetap tidak seluas rumah konglomerat lainnya namun ruang tamu Harry setara dengan ballroom hotel umum. Harry memang menyukai kesederhanaan yang mewah.

"Kenapa harus warna pink dan biru lagi?" Harry menyindir iseng.

"Karena aku sering melihat tradisi keluarga yang menebak gender janin mereka, selalu ada warna pink dan biru di sana."

"Baiklah." Harry tersenyum pasrah, apabila Harry yang mengambil alih pekerjaannya itu ia sudah pasti akan memilih warna klasik. Dekorasi yang hampir 80% jadi ini terlihat seperti ulang tahun anak TK yang menghabiskan waktu mereka di restoran ternama. Yah, setidaknya sedikit bisa masuk diakal mengingat wanita itu belum pernah ke pesta ulang tahun anak-anak.

Harry tidak banyak berbicara karena ada beberapa pelayan yang ia panggil datang untuk mengerjakan imajinasi istrinya, ia tidak suka keramaian.

Wanita dengan cardigan putih tebalnya dan gaun rumahan berwarna biru pastel itu datang, Harry dapat melihat lekukan cembung di perutnya. Wanita itu terlihat seperti malaikat dengan tatapannya yang menghisap mata.

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang