E m P a T P u L u H

97 19 6
                                    

"Kau sungguh memanggilku karena kehilangan satu ekor ayam?" Harry mengernyitkan dahinya.

Pria tua itu tampak gugup, wajahnya pun terlihat tegang. "M-maksudku... Dia ayam paling subur di tempat ini."

Harry menghembuskan nafas panjang. "Baiklah, setidaknya kita tidak kehilangan ayam-ayam lain. Kau bisa suruh orang untuk mencarinya di sekitar sini. Aku punya urusan penting, kau tau istriku hamil?"

"Maafkan aku." Pria itu sedikit menundukkan wajahnya ke bawah. Harry merasa ada sesuatu yang tidak beres, perasaannya tiba-tiba saja gelisah.

Riiiing...!

Ponselnya berdering, tidak butuh waktu satu detik untuk mengangkatnya. "Ya?"

"Pulanglah, kami akan memulai operasinya."

Jantungnya merosot cepat seperti baru saja dijatuhkan dari langit. Sesaat ia merasakan jiwanya keluar dari raga dan dentuman keras mulai menggedor-gedor tulang rusuknya. Langkahnya terhuyung, lalu ia segera berlari menuju kuda putihnya.

"SIAL!"

Melawan angin musim semi yang harum, ia melaju kencang hingga harus menyipitkan matanya menerjang debu-debu di jalan. Ia harus datang tepat waktu sebelum operasinya dimulai.

***

Kamar kosong itu kini lengkap dengan berbagai macam alat, Mrs. Rudolf sudah mempersiapkan semuanya dari jauh hari, jadi meski mendadak ia dan Maddi dapat langsung bergegas dan tinggal menyiapkan mental.

Wanita itu berbalik ketika mendengar langkah berat seorang pria, tak lama pintunya didobrak kuat.

BRAKK!!

"AMICIA!" Pria itu segera menghampiri istrinya yang berbaring lemah di atas ranjang. Mata birunya masih sayup-sayup terbuka dan ia merespon genggaman tangan Harry kuat.

"15 menit perjalanan, kau tepat waktu."

Pria itu bangkit dengan cepat. "Mengapa kalian harus terburu-buru?" Harry sedikit kesal dengan kabar mengejutkan yang tiba-tiba saja menghampirinya.

"Amicia ingin melakukannya sekarang, dia tidak ingin membuatmu kepikiran."

"Tapi masih ada banyak hal yang ingin kukatakan..." Ungkapnya penuh sesal.

"Bodoh... Jangan berlagak seolah aku akan mati." Amicia membalas dengan suara lirih.

Harry menoleh, lalu kembali berlutut di sebelah ranjang istrinya. "Aku takut sendirian, biarkan aku menemanimu."

Amicia memberikan tatapannya ke arah Mrs. Rudolf, lalu wanita itu mengangguk seolah paham dengan tatapan yang diberikan. "Harry, Amicia sedang berada dalam kondisi stabil. Aku yakin ini waktu yang tepat—"

"DIAM!" Ia memelototi wanita itu tajam.

Mrs. Rudolf tertegun ketika pria itu membentaknya. "Harry, aku harap kau mau mengerti... Jika kau ingin operasinya berjalan lancar, berhentilah bersikap emosional dan biarkan Amicia fokus dengan kondisi tubuhnya."

Tatapan Harry berpindah ke arah Amicia— pakaian putih polos yang belum pernah ia kenakan, kantung mata yang sembab, dan tubuhnya yang terbaring lunglai— wanita itu tidak banyak bicara dan hanya diam sembari memperhatikan kekacauan yang ia buat.

Merasa sangat hina telah menjadi manusia yang egois, Harry mendekat untuk terakhir kali dan mengecup singkat bibir Amicia.

"Aku mencintaimu."

Wanita itu tersenyum. "Aku tau."

Harry nyaris menitikkan air mata. "Berjanjilah, aku ingin melihatmu duduk tersenyum dengan dua bayi mungil di tanganmu." Harry mengamit jari-jarinya.

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang