S a T u

380 51 3
                                    

Gadis dengan manik biru itu berpangku tangan pada meja kayu bundar di hadapannya.

"Kau bahagia?" Kedua matanya memicing, mengamati wajah temannya yang nampak pucat.

"Ya, meskipun rumah kami tidak besar tapi kami punya taman dan kolam ikan kecil di halaman belakang." Papar gadis berambut pirang itu enteng sembari mengangkat bahunya.

"Ahh, itu terdengar bagus..." Amicia berusaha setuju dengan perkataan temannya.

"Yup." Wanita itu tersenyum manis- beringsut mundur dari kursi, lalu mengelus perutnya yang kian membuncit seolah sengaja menunjukkan baby bump-nya.

Usia mereka terpaut satu tahun lebih tua dan wanita di hadapannya sudah memiliki anak. Amicia merasa bahwa dunia ini sungguh tidak adil mewajarkan gadis yang baru menginjak usia legal untuk melahirkan.

"Hei, bukankah itu sakit?" Penasaran, Amicia mencoba untuk sedikit maju dari kursinya.

Pandangannya turun ke bawah, senyum manis lainnya terpatri di bibir wanita muda itu. "Tidak akan jika kau menyayanginya."

Ekspresi tulus itu membuat Amicia terenyuh, apa ia baru saja meragukan seorang ibu yang sedang mengandung buah hatinya? Ia sungguh jahat...

"M-maaf, aku tiba-tiba bertanya sesuatu yang aneh." Amicia menundukkan wajahnya malu.

"Tidak apa, kukira itu maksud kedatanganmu kemari?"

Amicia mendongak tersesat.

"Kau akan menikah?" Tanya wanita itu dengan mata berbinar.

Kedua mata Amicia langsung membulat, ia menggeleng cepat. "T-tidak!"

Wanita di hadapannya tertawa. "Astaga, kau masih sama saja."

"Itu... Bukankah aku tetap bisa hidup tanpa harus menikah?" Amicia bertanya dengan sedikit ragu.

Kini wajah wanita itu berubah serius. "Entahlah, Amicia. Kau berpikir untuk terus mencukupi kebutuhanmu sebagai seorang pembantu di peternakan?"

Amicia menggigit bibir dalamnya ragu, memang benar ia tidak mempersiapkan apa-apa untuk mengambil resiko yang besar. Tidak menikah sama saja dengan melawan takdir, ia pun percaya seluruh orang pasti menikah.

"Y-yahh, bukankah itu bisa jadi?" Ia mengerucutkan bibirnya, masih pura-pura bersikeras.

Wanita itu menghela nafas berat. "Benar. Tapi apa yang akan kau lakukan jika sudah tua? Menjadi gadis pekerja adalah hal yang rumit, mereka takkan mau menerimamu kecuali kau membuat usaha sendiri. Kau mungkin bisa memiliki butik di pusat kota untuk mempekerjakan orang lain saat kau tidak lagi mampu, tapi itu semua mustahil tanpa uang dan pengalaman... Maaf, bukannya aku berusaha menyudutkanmu."

Amicia termenung.

"... Ya, seharusnya aku tau."

"Ohh, maafkan aku!" Wanita itu tampak merasa sangat bersalah.

Amicia menaikkan kedua alisnya. "Heii, kenapa harus minta maaf?" Ia bangkit dari tempat duduknya dengan riang- menghampiri wanita itu lalu memeluknya. "Aku menyayangimu, Diana. Baiklah, aku harus pergi bekerja." Ia beranjak dari tempatnya seolah menciptakan semangat baru.

Diana tersenyum. "Kemarilah jika kau ingin bercerita."

Amicia berbalik sejenak dengan senyum serupa. "Tentu."

***

Tidak pernah sekalipun ia menyadari bahwa orang-orang di pusat kota ternyata jauh lebih modern dari penampilan orang desa. Baru sekarang ia tahu bahwa ada banyak sekali perbedaan.

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang