P R O L O G

875 64 10
                                    

Kisah ini berawal dari sesosok gadis berambut cokelat keemasan bernama Amicia Burgess.

Bermata sebiru kristal dan bibir berwarna merah muda.

Gadis tidak tau diri yang telah menempatkan banyak pria di desanya ke dalam zona teman. Gadis yang sangat membenci pergulatan asmara, perjodohan, serta perkawinan.

Joy.

Sebutan yang pantas dilihat dari kapasitas kegembiraannya yang tiada tara. Ia suka membantu orang tanpa pamrih, bermain dengan anak-anak panti asuhan, bekerja di peternakan Barney's, dan bermain di lapangan bersama anak laki-laki lain.

Namun tentu saja hal itu semakin rumit hukumnya ketika ia mulai menginjak usia dewasa. Eroda bukanlah tempat dimana para wanita bisa berperilaku seenaknya. Menganut tradisi kuno Inggris abad 18-an, wanita di sini tidak lebih diperuntukkan sebagai seorang istri. Semakin mahir para gadis melakukan pekerjaan rumah, semakin cepat mereka akan dipinang oleh laki-laki kaya.

Masalahnya, Amicia tidak ingin menjadi seperti mereka.

"Ashton!" Ia memeluk pria itu secara mengejutkan dari belakang.

Tatapan cemburu langsung menggeruduk sesosok pria berambut hitam yang kini tengah menganga dengan wajah merahnya akibat menahan malu.

"A-Amicia—"

"Mengapa kalian hanya diam saja? Kalian tidak bermain?" Cerutunya, lantas ikut bergabung di tengah lingkaran perbincangan yang baru saja ia rusak— andai ia mengetahuinya.

Akan tetapi tentu saja, tidak ada yang mampu menolak pesona putri tunggal Mrs. Burgess yang sudah menginjak usia 17 tahun. Cahaya kemerahan dari matahari terbenam justru semakin membuat dirinya terlihat sempurna.

"M-maaf, tapi aku harus pulang." Benny si kribo periang yang telah memangkas habis seluruh rambutnya menunduk sungkan karena menyadari sesuatu dari kehadiran Amicia. Entah terkadang tulang selangka yang menonjol di bawah lehernya, atau sebuah belahan yang terselip di antara kedua gunung kembarnya— mata, hidung, bibir— semuanya menguntungkan. Sialnya gadis polos itu tidak pernah menyadarinya.

Amicia mengerutkan kedua alisnya tidak terima. "Huh?! Tapi bukannya kau yang selalu bersemangat?!" Protesnya tepat di depan wajah Ben yang hanya bisa membisu seperti orang tolol.

Plak!

"Ayo katakan!" Ucapnya marah.

Tentu saja itu hanya lelucon, ia sudah menampar si kribo Ben berpuluh-puluh kali semenjak mereka berumur 8 tahun. Tidak usah diprediksi, seperti membuat ajang komedinya sendiri, gadis itu pun tersenyum merapatkan gigi-giginya sembari terkekeh pelan.

"Maaf Ben, aku hanya bergurau."

"Bukan dia, kau lah yang selalu bersemangat." Hal tidak setuju dikatakan oleh salah satu temannya. "Maaf, aku punya pekerjaan lain." Laki-laki itu bangkit dari tempatnya berdiri, diikuti yang lain.

Wajah Amicia berubah, ia terlalu naif untuk tidak mau berasumsi bahwa ada sesuatu terjadi di belakangnya.

"Ashton, kau?" Ia berbalik.

"Well, tidak ada alasan lain untuk kemari selain berkumpul." Pria itu mengedikkan bahunya.

Amicia menghela nafas gusar. Seperti biasa, mereka berdua pun pulang bersama, dan kali ini lebih banyak hening dibandingkan hari-hari sebelumnya.

***

Suara jangkrik yang bernyanyi di sebelah hutan belantara membuat kuping kanan menjadi tuli untuk beberapa saat, di tambah keheningan yang menyelimuti, membuat Amicia tidak tahan ingin berlari.

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang