T i G a P u L u H T u J u H

108 21 5
                                    

Harry memainkan ponsel pintarnya sembari menekuk leher pada bantal. Sinyalnya sungguh lemot untuk dapat mengakses internet, namun apa yang membuat Harry lebih kesal adalah wanita itu justru tidak tertarik pada benda yang ada di genggaman tangannya.

Memunggungi Harry, Amicia terus menceritakan imajinasi di kepalanya tentang tupai yang kesepian dan sebuah pohon raksasa pada anak pungut sementaranya. Harry pun sempat ikut mendengar dan sesekali terlarut dalam kisahnya, namun apa yang sedang ia pegang kembali membuatnya teringat akan tujuannya repot-repot membuka ponsel itu dari kotaknya.

"Shit..." Umpatan Harry membuat Amicia menoleh cepat, Harry pun melirik datar ke arah istrinya.

"Harry, dia tidak tuli."

"Aku tau."

Amicia memutar bola matanya malas, lalu kembali bercerita meski tidak ditanggapi dengan kalimat. Mengapa anak itu bahkan tidak menulis sesuatu?

Harry kembali berkutat pada ponsel mahalnya, kini ia terlihat seperti orang bodoh.

"Oh!"

Harry menoleh cepat, matanya melebar melihat anak itu langsung menerjang perut Amicia dengan pelukan. Bagaimana bila sesuatu terjadi? Bagaimana bila bayinya tiba-tiba keluar dari bawah?

Mungkin Harry terlalu berlebihan. Kini ia meletakkan ponselnya di atas nakas lalu melipat tangan di depan dada, mata hijaunya melirik sinis memperhatikan gerak-gerik bocah laki-laki itu mengusap punggung istrinya.

Tiba-tiba saja Amicia menoleh ke arahnya dengan mata berbinar, Harry memasang wajah cemberutnya spontan. Hal itu justru membuat Amicia tergelak, wajahnya jauh lebih berseri semenjak kehadiran Ian. Sudah pasti langkah Dickinson selanjutnya adalah berakting lelah akan tingkah laku putranya dan menyerahkan anak itu padanya.

"Apa masalah kita sudah bisa disebut tuntas?" Harry menatap lurus ke depan, membuang wajah dari pemandangan mengirikan di sebelahnya.

"Mungkin." Amicia mengusap rambut cokelat kepirangan yang bersandar di atas perutnya. "Apa yang kau dengar, sayang?" Bisiknya.

Ian bangkit dan segera menuliskan sebuah kalimat, Harry menutup separuh wajahnya sembari menghela nafas gusar. Matanya menyipit melihat bocah itu justru memberikan kertasnya kepada Amicia, dan tentu saja Amicia menyerahkan kertas itu padanya.

Harry menyambar kertas itu cepat, melihat apa yang tertulis di sana otot-otot wajahnya meluwes seketika- meski masih sedikit menyisakan kerutan di dahi.

"Aku juga ingin punya adik"

Harry tidak sanggup membacakannya...

Amicia sudah sangat menanti jawaban ketika pria itu melipat kertasnya.

"Apa itu?"

"Bukan apa-apa." Sambil sedikit melirik ke arah darah daging musuhnya. Hanya ada wajah polos yang entah menyiratkan arti kekecewaan atau tidak sama sekali, Harry sedikit merasa buruk. Menarik Amicia mendekat, ia segera mengunci pergerakan wanita itu agar tidak bisa kabur.

"A-apa yang kau lakukan?!" Amicia menggeliat berusaha menjauh dari dekapan tubuhnya. "Ian, tolong aku!"

Harry yang panik tanpa sengaja justru memberi inisial telunjuk di depan bibir. Oh, apa ia baru saja berinteraksi dengan anak yang tidak diinginkannya?

Bocah itu menutup mulutnya rapat lalu berbalik memunggungi Amicia, ada wajah girang yang tertutup di balik tangannya. Ia melakukannya seolah ia tidak bisu sejak awal, Harry merasa berdosa.

***

Tidak ada kunjungan dari pihak berwajib maupun surat pemberitahuan, Harry takkan bisa tenang sampai Dickinson melepas hak asuhnya.

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang