L i M a

237 39 2
                                    

Tubuhnya seolah remuk seperti kertas basah yang sudah dikeringkan. Udara di sekitarnya terasa berdebu— yang mana ia tidak pernah menyadari itu sebelumnya. Ia telah banyak mengabaikan banyak masalah yang seharusnya ia alami dalam hidupnya, hari ini sudah cukup. Hari ini adalah hari dimana ia harus belajar menjadi orang dewasa.

Ia turun dari kamarnya hendak meminta maaf kepada sang ibu.

"Mom..." Ia mendekati ibunya yang sedang memasak di dapur. Ketika wanita itu berbalik, wanita itu langsung memeluknya erat.

"Ohh, maafkan aku..." Ujarnya penuh rasa bersalah.

Amicia menggeleng, mengelus punggungnya yang semakin bungkuk. "Tak apa, aku tau ibu tidak akan menempatkanku dalam bahaya. Lagipula aku tidak bisa bergantung dalam perlindunganmu terus menerus, aku harus berani mengambil resiko."

Sang ibu mundur dari pelukannya. "Kau sudah besar, sayang..." Ia menyisir surai rambut gadis itu lembut. "Dan juga, aku tau kau membencinya, hanya saja jangan terlalu keras padanya... Ia membutuhkanmu."

"Ah..." Mood gadis itu kembali anjlok membayangkan wajah calon suaminya.

Hari ini ia harus segera bersiap untuk mencari gaun pengantin di pusat kota.

***

Gadis itu memalingkan wajahnya sembari berpangku tangan ke luar jendela, memandangi jalanan kota yang tidak terasa mengagumkan seperti biasanya— atau mungkin karena ada pria itu di sampingnya. Adakah kendaraan lainnya yang bisa mengantarkan ia cepat sampai ke tujuan selain kuda yang disetir lamban ini?

"Permisi pria bertopi, bisa kau cepat sedikit?"

Harry menoleh ketika gadis itu berbicara.

"Baik, nyonya" Pria di balik kemudinya menjawab. "Dan omong-omong namaku Darren." Amicia dapat melihat senyumnya dari belakang.

"Terima kasih, Darren." Gadis itu ikut tersenyum dan kembali duduk di tempatnya. Menyadari sesuatu sedang memperhatikannya, Amicia segera menoleh cepat ke arah pria di sebelahnya. Harry tidak sedikitpun berniat menghilangkan jejak pandangnya.

"Apa?" Tanya Amicia ketus, namun pria itu masih menatapnya dengan tatapan dingin. Ia mengalihkan wajahnya cemberut, perjalanan ini sangat menjengkelkan. Padahal baru saja ia hendak berperilaku seperti orang dewasa.

Alisnya tidak lagi berkerut ketika ia merasakan laju keretanya melamban. Ia menoleh ke sisi jalan, melihat butik bertingkat dengan lampu kristal kuning dan kerlap-kerlip dari busana pengantinnya yang dipajang di depan kaca. Rahangnya jatuh seketika, semakin terjatuh ketika Harry membukakan pintunya secara tiba-tiba.

"Ah! B-bodoh!" Semburnya spontan dan langsung mengundang tatapan aneh dari orang-orang yang sedang berjalan. Wajahnya memerah, ia segera turun dan mengekor di belakang Harry yang mendahuluinya masuk ke dalam toko.

Para pelayan segera menyambut mereka dengan sangat ramah.

"Selamat datang tuan dan nyonya." Gadis-gadis muda nan cantik itu saling membungkuk menjajakan gigi putih mereka. Hal tersebut membuat Amicia tanpa sadar ikut tersenyum sungkan karena merasa dihormati. Tak lama seorang wanita kisaran umur 40 tahun datang menghampiri mereka berdua. Bajunya terlihat berbeda dan lebih modis dibandingkan pelayannya.

"Sungguh sebuah kehormatan bagi kami dapat berpartisipasi melayani acara pernikahan kalian." Ia menjabat tangan Harry seperti mereka sudah sering melakukannya, lalu berganti menjabat tangan Amicia yang dibalas senyuman oleh gadis itu. "Mr. Styles, kau akan menjadi topik pembicaraan penting di koran minggu ini." Ujar wanita itu ikut bahagia dengan senyumnya yang berwibawa.

Sebesar itu pengaruh pria ini di pusat kota? Batin Amicia sungguh penasaran.

"Oh, aku tidak menyukainya."

Once Upon A Time In Eroda [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang