15. Surat dari Sekolah Dua Tahun Lalu

574 110 105
                                    

[Putar lagu 'Mungkin Hari Ini Esok atau Nanti']

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Putar lagu 'Mungkin Hari Ini Esok atau Nanti']

Sebenarnya, kita ini lo anggap Kakak lo nggak sih?
—Nahastra Puradial

Sebenarnya, kita ini lo anggap Kakak lo nggak sih?—Nahastra Puradial

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Juna berkacak pinggang saat kakinya mulai menyambangi ruang tamu. Hari masih subuh bahkan suara adzan subuh belum terdengar dan pemandangan ruang tamu yang berantakan benar-benar membangkitkan jiwa Emak-emak-nya Juna. Ingin sekali dia mengomel, tapi tidak ada orang di ruang tamu, baru dia yang bangun sendirian, toh ini baru jam 04.20 WIB.

Tusuk sate bekas semalam berhamburan di atas meja, cup plastik teh dua daun berserakan di atas karpet dan bantal-bantal sofa yang berjejer rapi serupa kereta api di depan lemari televisi. Woah! Benar-benar membuat Juna ingin menyemprot seseorang dengan omelannya—mungkin sekalipun itu hantu.

Biasanya, subuh begini yang pertama bangun Juna dan Dhipa, tapi mantan cassanova UGM—Dhipa maksudnya, itu belum menunjukkan daun telinganya di hadapan Juna. Kalau sudah begini, masa iya Juna membereskan kekacauan di ruang tamu sendiri sih? Membangunkan yang lain pun rasanya tidak tega, semalam mereka baru tidur setelah jarum jam menunjukan pukul 01.40 WIB. Tapi, sungguh! Juna malas membersihkan kekacauan ini sendirian dan dia juga butuh pelampiasan untuk dijadikan sasaran omelannya.

"Pagi ini nggak usah minta sarapan lo pada, ngambek gue," gumam Juna sambil menatap satu persatu pintu kamar saudaranya. Oke, Juna kesal setengah mati. Ya biarpun kekacauan ini juga bagian dari ulahnya, tapi yang tadi malam paling banyak berulah adalah Rasna dan Hastra.

Ini pun Juna terbangun karena telepon dari Al yang mengingatkannya untuk sholat subuh. Kalau tidak ada Al yang menelpon, mungkin Juna juga masih molor sama kayak yang lain. Kalau begini, haruskah Juna ngomelnya ke Al aja?

"Ngapain, Jun?" Suara Maher terdengar.

Juna langsung menoleh, kemudian menggeleng pelan. "Meratapi nasib, kenapa semalam rumah dihuni sama setan nggak berotak semua," lirih Juna sok menderita.

Maher mengucek matanya yang masih berat untuk terbuka, bibirnya mengukir senyum tipis yang dia paksa untuk tertawa. "Semangat, Mas Jun. Setannya lagi pada tidur, nggak ada yang dijadiin pelampiasan kan?" ledek Maher sambil berlalu menuju dapur.

Catatan LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang