21. Akhir Pekan, Waktunya Mengakhiri Perasaan

433 91 124
                                    

Ikhlas, rela, dan terbiasa itu beda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ikhlas, rela, dan terbiasa itu beda.
Alkananta Maherdian

Ada satu yang istimewa minggu pagi ini bagi Maher

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada satu yang istimewa minggu pagi ini bagi Maher. Setelah semalam telponan dengan Beela hingga larut malam, pagi ini Maher memutuskan untuk pergi ke pemakaman Bapak dan Ibu. Ya, ini bagian istimewa-nya.

Maher lupa kapan terakhir kali dia berkunjung ke pemakaman Bapak dan Ibu. Yang jelas, itu sudah sangat lama. Yang Maher ingat hanyalah saat itu Maher datang bersama Beela. Mungkin, kalau Maher tidak salah kira, sekitar tiga bulan yang lalu.

Keadaannya masih sama. Beratus gundukan tanah menjadi objek utama yang Maher lihat. Sepi dan sejuk, apalagi ini masih pagi. Maher turun dari mobilnya dengan membawa sekantong bunga dan dua botol air. Langkahnya dia bawa menuju pemakaman Bapak dan Ibu yang terletak bersampingan.

Masih sangat sama seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, hati Maher selalu sakit ketika mendatangi pemakaman Bapak dan Ibu. Bukannya Maher tidak ikhlas atau belum rela dengan kepergian Bapak dan Ibu, hanya saja, waktu tiga tahun tidak cukup bagi Maher untuk terbiasa tanpa kehadiran Bapak dan Ibu di hidupnya.

"Pak ... Bu ... Maher datang."

Maher menghela nafas berat. Alasan di balik dia jarang mengunjungi pemakaman Bapak dan Ibu adalah karena dia tidak bisa mengontrol emosinya sendiri. Masih terlalu jelas menyakitkan bagi Maher ketika mengingat bahwa Bapak dan Ibu tidak ada lagi di dunia bersamanya, di sisinya, mendampinginya.

Dengan gerakan perlahan, Maher berjongkok di samping kuburan Ibu. Maher mengusap batu nisan yang mengukir nama Ibu di sana. Hawa dingin menyapa kulit telapak tangan Maher, juga sedikit basah karena embun yang menempel. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, hati Maher menghangat- teringat pada sentuhan Ibu yang selalu menenangkannya.

"Bu, Ibu apa kabar di sana? Maher kangen, kapan-kapan datangin Maher ya, Bu. Maher nggak kuat di sini sendirian tanpa Ibu," ucap Maher sambil berusaha tegar.

Maher meletakkan keranjang bunga dan dua botol air yang dibawanya di samping tempat dia jongkok. Setelahnya, Maher mulai mencabuti rumput liar yang bertumbuhan di atas kuburan Ibu. Sambil sesekali bercerita tentang apa yang dia alami selama ini tanpa Ibu di sisinya.

Catatan LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang