Part 3

45 8 0
                                    

Setelah ayah Agapita pergi, Alardo berusaha menenagkan Agapita dengan memeluknya. Dia ikut sedih mendengar pertengkaran Agapita dengan ayahnya tadi.

"Udah ya Pita. Gue anterin ke rumah bibi lo mau?" tawar Alardo kepada Agapita.

Agapita menggelengkan kepalanya pelan. Dia pun menghapus air matanya kasar lalu bangkit dan berdiri. Dia mengambil kotak P3K untuk mengobati Alardo.

Tak lama kemudian Agapita kembali sambil membawa kotak P3K untuk mengobati luka sobek yang berada di ujung mulut Alardo.

"Sini gue obatin," ucap Agapita sambil duduk di depan Alardo.

"Ini ngak se sakit luka yang lo rasain. Kenapa loasih disini? Kenapa lo ngak pergi ke rumah bibi lo aja?" tanya Alardo kepada Agapita.

"Gue ngak mau buat paman sama bibi gue kesusahan gara-gara gue," jawab Agapita sendu.

"Kali ini aja lo dengerin gue. Lo kerumah bibi lo ya," pinta Alardo sekali lagi kepada Agapita.

Namun Agapita tetap menolaknya. Dia tidak ingin merepotkan paman dan bibinya. Dia ingin di rumahnya dan bercerita pada ibunya. Mungkin besok dia akan mengunjungi makam ibunya.

"Ngak Do. Makasih tadi lo udah bela gue sampai lo kena sasaran bokap gue. Makasih dan maaf atas perlakuan bokap gue," ucap Agapita sambil tersenyum.

"Lo ngak usah senyum di balik kesedihan lo. Lo ngak usah maksain diri lo Pit. Gue tau lo kuat, tapi di depan gue lo boleh nangis sepuas gue. Lepas topeng kebahagiaan lo itu," ucap Alardo lalu memeluk Agapita kembali. Pita menagis sesengukan dalam pelukan Alardo.

"Maafin gue Do," ucap Pita dalam tangisannya.

"Lo ngak usah minta maaf ke gue. Ini bukan salah lo. Lo tau ngak, di luar sana banyak yang kayak lo tapi mereka milih buat nyerah gitu aja. Tapi lo, lo kuat Pit. Lo bisa kuat dengan cara lo sendiri," ucap Alardo.

"Jujur aja Do. Gue mau nyerah sekarang. Tapi gue inget masa depan gue buat bahagiain bunda. Bisa ngerubah pemikiran ayah itu poin utama gue Do," batin Agapita.

***
Seorang remaja lelaki dengan tubuh atletis memasuki sebuah pekarangan rumah yang menurutnya adalah penjara tersuramnya saat masa kecil. Dia berjanji tidak akan menginjakan kakinya kesini lagi kecuali ada kepentingan.

Remaja laki-laki itu memandang rumah yang begitu megah lalu masuk ke dalam rumah tersebut untuk menemui ayahnya. Ayahnya memintanya untuk kemari. Sejujurnya dia sangat malas untuk kemari. Dia juga tidak tega meninggalkan Agapita seorang diri. Tapi mau bagaimana lagi, Agapita memintanya untuk datang ke rumah ayahnya.

"Berani lo nginjekin kaki lo ke rumah ini lagi?" tanya sepupu tirinya itu yang bernama Adolf Evandaru.

"Dih, lo siapa gue yang berani larang gue ke rumah bokap gue sendiri? Emang kita kenal ya? Mohon maaf anda bukan siapa-siapa saya," ucap Alardo lalu segera melangkahkan kakinya untuk segera menemui ayahnya daripada dia harus berurusan dengan Adolf.

Adolf yang geram dengan Alardo pun segera mendekati Alardo. Tanpa aba-aba, Adolf membogem pipi bagian kiri Alardo. Itu membuatnya tersungkur karena dia belum siap sama sekali.

"Anjing lo," ucap Alardo penuh emosi. Dia pun segera membalas perlakuan Adolf. Terjadilah baku hantam antar saudara tiri itu.

Tak lama kemudian ayah mereka datang bersama dengan ibu Adolf. Ayahnya berusaha menarik Alardo agar menjauh dari Adolf.

"Kalian sehari aja bisa ngak sih kalau ketemu ngak usah berantem?" tanya ayahnya itu kepada mereka berdua.

"Bela aja anak kesayangan ayah. Bela aja terus. Apa ayah buta? Kenapa ayah nikahin cewek yang udah bikin bunda ngak bisa jalan? Apa yang ayah baggain dari anak tiri ayah itu? Ada? Cuman bikin masalah doang," ucap Alardo yang sudah muak dengan segalanya.

"Tutup mulut kamu Alardo Damaresh. Dia juga ibu dan saudara kamu," bentak ayahnya.

Alardo memutar bola matanya malas. Apa ayahnya bilang tadi? Apakah dirinya tidak salah dengar? Adolf dan ibunya bagian dari kehidupannya? Cih, Alardo tidak akan pernah mengakuinya. Daripada mengakuinya sebagai keluarga, dia lebih baik mati.

"Cih, daripada gue hidup dan ngakuin dia sebagai ibu gue. Gue lebih baik mati daripada ngangep mereka jadi bagian keluarga gue," ucap Alardo dengan amarah yang dia tahan.

Plak...
Sebuah tamparan mengenai rahang Alardo. Alardo hanya bisa pasrah menerimanya. Jika hari ini dia mati di tangan ayahnya pun dia akan siap.

"Tutup mulut kamu Alardo. Sadar, sekarang Adolf adik kamu. Apa yang kamu bisa dapet dari wanita yang sudah tak berdaya itu? Ngak ada kan," ucap ayahnya itu.

"Udah mas, biarin aja Alardo bilang semuanya. Biarin aja Alardo hina aku. Ini emang salah aku," ucap ibu Adolf sambil mengeluarkan air matanya.

"Cih, air mata buaya. Ayah nanya kan apa yang gue dapet dari mamah? Kasih sayang. Kasih sayang gue dapet dari mamah. Gue rasa percuma aja deh ayah minta gue kesini cuman buat berantem. Ngak guna banget," ucap Alardo lalu mengambil tasnya yang jatuh di lantai dengan kasar lalu melangkahkan kakinya keluar.

"Besok kamu ke kantor ayah," ucap ayahnya itu kepada Alardo.

"Kalau ayah cuman mau bahas istri ular ayah itu Alardo ngak akan datang. Percuma ngomong sama orang yang hatinya udah ketutup. Gue curiga istri ayah yang baru ini ngepelet ayah dulu deh. Buat lo, masalah kita berdua belum beres. Lo yang mulai," ucap Alardo lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah ayahnya itu.

"TUTUP MULUT KAMU ITU ALARDO. INI HASIL DIDIKAN IBU KAMU? KAMU DIAJARIN BUAT NGAK SOPAN?" tanya ayahnya itu sambil membentaknya.

"Cukup ya ayah nyalahin mamah. Mamah ngak pernah didik Alardo jadi kayak gini. Mamah selalu ngasih kasih sayang ke Alardo. Setelah dia dateng, semuanya hancur. Setelah ayah tau dia yang salah, kenapa ayah masih tetep bertahan buat dia? Kenapa?" tanya Alardo pada ayahnya. Ayahnya hanya bisa diam dan tidak menjawab perkataan Alardo.

"Ngak bisa jawab kan? Harapan Alardo buat ayah cuman satu. Ayah ceraiin dia. Sebenarnya ayah kenapa sih masih tetep bertahan sama dia yang jelas-jelas wanita ular. Capek Alardo ngomong sama ayah," ucap Alardo lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah yang bagaikan penjara baginya. Ayahnya terus memanggil namun tidak dihiraukan oleh nya.

***
Seorang remaja laki-laki sedang membaringkan tubuhnya di kasur sambil mengingat semua masa kecilnya yang masih bahagia. Hari dimana dia masih tertawa bahagia dengan ayah ibunya.

"Kenapa sih bokap gue. Dia udah di kasih tau kebenarannya tetep aja keras kepala. Capek gue ngingetin dia," ucap Alardo.

"Eh, besok libur kan? Gimana kalau gue ajak Agapita keluar. Lumayan kan ngehibur dia habis ada masalah sama bokapnya. Gue telfon aja kali," ucap Alardo lalu mengambil ponselnya untuk menelfon Agapita.

Sedangkan di lain sisi, Agapita sedang memandang langit yang penuh bintang dengan air mata yang terus menetes dari matanya. Sudah 1 jam dia terus memandangi langit sambil meneteskan air matanya.

Dia pun memilih untuk menghapus air matanya dengan kasar lalu masuk ke dalam kamarnya. Sesampainya di kamar, dia mencuci wajahnya dan segera mengambil obatnya lalu meminumnya. Dia pun memilih untuk berbaring di ranjangnya. Namun, saat dia ingin berbaring, telfonnya berdering dan menunjukan nama Alardo.

"Halo Do ada apa?" tanya Agapita.

"Lo besok sibuk ngak?" tanya Alardo dari seberang sana.

"Ngak kok. Gue kosong besok," jawab Agapita.

"Gue ajak lo main besok gimana? Gue jemput lo mau ?" tawar Alardo kepada Agapita.

"Tapi, kalau bokap gue ada di rumah gimana Do?" tanya Agapita dengan was-was.

"Eum, lo besok ada rencana keluar ngak?" tanya Alardo dari seberang sana.

"Gue besok ada rencana mau ke makam bunda," jawab Agapita.

"Lo ngak usah bawa motor. Baliknya gue jemput. Gimana?" tanya Alardo.

"Boleh. Ok, gue besok keluar sama lo," jawab Agapita lalu mematikan ponselnya.

Agapita langsung meletakkan ponselnya di nakas dan menarik selimutnya hingga dada. Agapita berharap, ibunya datang ke mimpinya lagi.

***
Tbc.
Gimana part ini? Jangan lupa share, comment, vote juga.

See you next part.

I'm not perfect [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang