Happy reading...
Malam itu, Seokjin berdiam diri cukup lama di balkon kamarnya, pandangan matanya lurus menatap langit, bahkan langit sangat gelap, mendukung suasana hatinya.
"Haaahh..." Seokjin menghela nafas beratnya.
"Kapan aku bisa ke atas langit? Rasanya aku mulai tidak sabar menunggu." Gumam pelan Seokjin.
Seketika terbesit ingatan Irene yang tersenyum padanya saat Seokjin mengantarnya pulang tadi.
"Andai saja aku bisa melihat senyum itu setiap hari, tapi sayang, waktuku tidak banyak."
Tiba-tiba Seokjin teringat sesuatu, "Oh iya, aku belum mengucapkan selamat malam pada Yeri, hampir saja lupa." Gumam Seokjin kemudian melangkah menuju kamar adiknya.
Sesampainya diambang pintu, Seokjin mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu karena suara tangisan sang adik.
"Irene eonnie, apa Oppa bisa sembuh? Dia bisa sembuh kan?" Ujar Yeri sesegukan.
"......"
"Eonnie benar-benar menolak lamaran pacar eonnie?"
"......."
"Iya eon, aku tahu dia bukan pacarmu, tapi tetap saja dia sudah melamarmu."
"......."
"Baik eonnie, terimakasih banyak... Terimakasih karena mau kembali menggenggam tangan Oppaku." Yeri semakin sesegukan.
Seokjin tercekat, dadanya sesak, seperti ditusuk ribuan kali, ini yang tidak Seokjin inginkan, dia tidak ingin dikasihani, melebihi itu, dia juga tidak suka orang yang disayanginya menangis karena dia.
Seokjin berjalan gontai menuju kamarnya, teringat kembali perlakuan Irene yang tiba-tiba berubah, "Haha... Bodoh sekali kau Kim Seokjin." Seokjin tersenyum miris.
Seokjin memencet nomor telepon, setelah panggilan terhubung, orang yang dipanggil langsung mengangkat teleponnya.
"Dokter... Apa ada seorang wanita yang menghubungimu sebelumnya?"
"......."
Seokjin membuang kasar ponselnya. "Aaaaaaakkkk!" Seokjin berteriak frustasi.
~~~
Besoknya, Seokjin sampai kantor dengan ekspresi yang sangat dingin.
"Halo, kau sudah datang? Tumben terlambat." Sapa Irene ramah.
Seokjin tidak menjawab dan memilih berjalan tanpa mempedulikan Irene.
"Dia kenapa?" Gumam Irene bingung.
Irene masuk ke dalam ruangannya, ponselnya berbunyi.
"Halo... Yerim-ah."
"Eonnie..."
"Kau kenapa menangis?"
"......"
"Apa?"
"......"
Irene terpaku di tempatnya, kemudian matanya beralih menatap ke arah ruangan Seokjin.
Tanpa sadar, kaki Irene beranjak menuju ruangan Seokjin dengan mata berkaca-kaca. Irene menerobos masuk.
"Kita perlu bicara." Ucap Irene menatap Seokjin yang seperti enggan menatapnya.
"Saya masih ada kerjaan, nanti saja kita bucara." Jawab Seokjin.
"Aku bilang sekarang! Aku tunggu di atap." Tegas Irene kemudian beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMEDY (END)
FanfictionAku memang menginginkan jalan keluar. hanya ada satu jalan keluar, tapi... Apa jalan keluar satu-satunya ini justru menyesatkanku?