32. Fade Away

10 2 0
                                    

Play now • Alan Walker - Faded

***

Sedikit informasi, aku dulu suka banget sama lagu-lagunya Alan Walker. Tapi, sayangnya aku sekarang dah pindah haluan dan ngestan boy grup Korea wkwk.

Kalo ada typo tolong diingetin
Selamat membaca

***

Perlahan tapi pasti, aku yakin rasa ini akan memudar. Seperti sosokmu yang mulai asing karena seiring berjalannya waktu kamu menghilang bak ditelan bumi.

✿✿✿

Belum juga mengucap salam dan benar-benar masuk ke dalam rumah, langkah kaki Adel sudah terinterupsi oleh suara berat milik Ayahnya.

"Darimana, Del?" tanya Ayahnya yang tengah duduk di ruang tamu sambil membaca koran.

"Habis dari panti, Dad jengukin anak-anak," jawab Adel lalu melangkah pelan menuju Ayahnya.

"Ohh. Adekmu belum pulang sekolah?" tanyanya membuat Adel sedikit berjengit kaget.

"Belum, Dad. Palingan sebentar lagi," jawab Adel lalu mencium punggung tangan Ayahnya begitu sampai di depan pria paruh baya itu.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Adel dan Ayahnya bebarengan.

"Gimana sekolahnya, Ran?" tanya Adel setelah Kiran sampai didepannya dan duduk disana.

"Biasa aja sih gak ada yang istimewa," jawab Kiran dengan santai.

"Masa biasa aja sih?" tanya Adel lagi.

"Yahh begitu. Udah ya Kak, Dad, Kiran masuk kamar dulu," pamit Kiran lalu pergi menuju kamarnya.

"Dad kenapa?" tanya Adel begitu Kiran sudah tak terlihat.

Terdengar hembusan nafas lelah dari Ayahnya.

"Dad cuma gak suka karena Kiran masih terus mencoba buat hubungi 'dia'," ucap Ayahnya.

Adel tentu paham dengan siapa yang disebut 'dia' oleh Ayahnya. Persetan dengan semuanya, jika boleh jujur, Adel juga merindukan 'dia'. Hanya saja ia mencoba menghargai perasaan Ayahnya yang sudah membawanya ke rumah ini dan memfasilitasi semua kebutuhannya.

Adel berdiri, ia berjalan mendekat ke arah Ayahnya dan memegang pundaknya.

"Gapapa, Dad. Kiran itu kan masih remaja, biasanya anak-anak seumuran mereka itu lagi butuh-butuhnya dukungan dari orang tua, baik dari ayah atau ibunya," ucap Adel mencoba menenangkan Ayahnya.

Lagi. Ayahnya menghembuskan nafasnya, ia bangkit dari duduknya lalu meraih tangan Adel yang memegang pundaknya.

"Kamu nggak akan kecewakan saya kan, Adel?"

Adel tersenyum simpul, ia paham, jika Ayahnya sudah menggunakan kata 'saya' maka itu artinya ia tidak ingin ditentang, apapun alasannya.

"Insyaallah, Dad," jawab Adel lalu memeluk Ayahnya.

***

Kiran menatap kosong langit-langit kamarnya. Masih terngiang dengan jelas kata-kata yang diucapkan Ayahnya tadi.

"Dad cuma gak suka karena Kiran masih terus mencoba buat hubungi 'dia'."

Ia menghembuskan nafasnya lelah, ternyata selama ini Ayahnya tau semua aktivitasnya. Kiran jadi agak menyesal sudah selalu diam-diam menghubungi ibunya.

Jujur saja, ia takut, sangat takut Ayahnya akan marah dan kecewa kepadanya. Baik dirinya maupun Adel, mereka sama-sama tau bahwa perasaan Ayahnya sangat sensitif setelah perceraian keduanya.

Kiran mendudukkan dirinya di pinggiran kasur, kepalanya menunduk dalam. Pikirannya benar-benar bercabang saat ini, ia memikirkan terlalu banyak hal yang seharusnya tak perlu ia pikirkan dan menjadi beban berat bagi otaknya.

Ia kemudian menengadahkan kepalanya dan melamun, kembali menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan campur aduk. Tiba-tiba sebuah kilas balik dari adegan dimana ia tengah berbicara dengan kak Adel mendistraksi otaknya.

"Kak Adel belum tidur?" tanya Kiran sambil memasuki kamar kakaknya itu.

"Belum. Kenapa, dek?"

"Gapapa, kak," jawab Kiran melangkah menuju kasur yang berada di tengah-tengah ruangan.

"Kamu yakin gapapa?"

"Iya, kak. Oh iya, kakak ngapain jam segini belum tidur? Kakak kangen sama Dara?" tanya Kiran karena melihat tangan kakaknya yang memegang sebuah liontin.

Terlihat Adel hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Kiran.

"Kak, sepenting apa sih Dara di hidup kakak?"

"Dia itu kaya Mom, posisinya sangat penting di hati kakak. Meskipun Dara gak punya ikatan darah apapun sama kakak, tapi dia adalah orang yang sangat dekat sama kakak dan selalu nemenin kakak, selain Bunda," jawab Adel lalu tersenyum dan memandangi liontin itu dengan tatapan sendu.

"Terus, gimana posisi aku di hati kakak?" tanya Kiran membuat Adel menahan nafas.

Kiran menghembuskan nafasnya, ia berusaha membuang jauh-jauh ingatan malam itu. Entahlah, hanya saja rasanya begitu sesak mengingatnya.

***

10/4/2021

Dear Diary,
Haha, dunia lucu ya? Semesta bener-bener gak bisa diajak serius kayaknya.

Perlahan tapi pasti, aku yakin rasa ini akan memudar. Seperti sosokmu yang mulai asing karena seiring berjalannya waktu kamu menghilang bak ditelan bumi.

Sekarang, aku bener-bener mempertanyakan, "siapa sahabat aku sebenarnya?". Pantaskah kamu disebut sebagai sahabat disaat aku butuh kamu dan kamu malah menghilang. Apa gak ada rasa khawatir sedikitpun?

"Zahra," panggil Arkan sambil berlari-lari kecil.

Zahra langsung menutup buku diarynya lalu tersenyum ketika Arkan sampai di depannya dan menyerahkan semangkuk besar salad buah.

"Gede banget? Mana habis, Arkan," rengek Zahra dan Arkan tersenyum jahil.

"Habis kok," ucap Arkan lalu duduk di samping Zahra.

"Ini kenapa sendoknya ada dua?" tanya Zahra lalu menatap Arkan bingung.

"Ya kali aku nggak dikasih, aku kan laper juga, Ra."

Zahra terkekeh geli melihat ekspresi wajah Arkan.

✿✿✿

#HaiHai
Kelar juga ini part. Gimana? Puaskah kalian dengan part ini? Satu kata buat part ini coba.

Jangan lupa tinggalkan jejak, see you next part. Bubay.
Love
HarlinaPutri❣️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang