Chapter 16

2.8K 455 43
                                    

Happy reading~
.
.
.

Dua manusia itu berdiri di depan gerbang. Salah satunya membawa tas besar di tangan dan ransel di punggung, persis seperti ketika ia pertama datang ke rumah tersebut. Bedanya, kini ia bersiap untuk pergi. Sementara yang lain tampak amat sangat frustrasi karena tidak bisa mencegah kepergian itu sendiri.

Hinata dan Sasuke. Kita tahu siapa yang akan pergi dan siapa yang begitu frustrasi.

“Bawa ponsel ini, nomorku sudah ada di sana. Hubungi aku kapan pun kau butuh. Aku juga akan sering menghubungimu untuk memastikan kau baik-baik saja.”

“Tidak usah-”

“Jangan membantah!”

Dengan ragu Hinata menerima ponsel yang Sasuke berikan. Benda itu baru, ia yakin. Dirinya tidak pernah berpikir untuk membeli ponsel karena tak ada orang yang perlu dihubungi. Lagipula benda elektronik itu terlalu mahal, Hinata lebih memilih menggunakan uangnya untuk biaya hidup sehari-hari.

Entah bagaimana Sasuke bisa tahu kalau ia tidak punya ponsel. Apa pria itu memperhatikannya atau dirinya pernah cerita, Hinata tidak ingat.

“Cari tempat tinggal dekat sekolah, atau pokoknya jangan terlalu jauh,” Sasuke merogoh saku, mengeluarkan sebuah amplop tebal, “Ambil dan pakai uang ini untuk menyewa tempat tinggal. Jangan berani-berani tidur di stasiun, bahaya.”

“Aku punya kalung, harganya lumayan bisa kujual. Kau tidak perlu sampai sejauh ini, Sas.”

“Aku bilang ambil!”

Lagi-lagi sang gadis seakan tidak memiliki pilihan selain menerima. Sasuke sedang dalam mode tak ingin dibantah. Ia panik dan gelisah untuk satu atau dua alasan. Dalam kepalanya tersusun rapi daftar kekhawatiran terhadap gadis di hadapan.

Kenapa? Kenapa Sasuke harus merasa seperti ini? Pria itu mulai mempertanyakan diri sendiri sejak beberapa hari lalu. Tapi kemudian menyadari bahwa itu sama sekali tidak penting sekarang. Di mana Hinata akan tinggal ke depannya jauh lebih penting.

Ini semua merupakan keputusan final Mikoto. Sesuatu yang wanita itu tetapkan sejak mengetahui kalau putranya telah terlibat masalah di sekolah. Berkelahi sampai masuk ruang BK. Kejadian itu sekitar lima hari lalu.

Flashback...

Suasana ruang keluarga cukup mencekam. Lebih serius daripada penyelidikan yang Sasuke terima di ruang BK sekolah hari ini. Ditambah pakaian Ibu dan kakaknya masih berupa kemeja kerja. Duduk berdampingan bagai ratu penguasa dan penasehat negara. Oke, sempurna. Ketegangan semakin meningkat saja tiap detiknya.

“Kau berkelahi di sekolah?”

Selain karena memar menghiasi wajah, Sasuke yakin sang Ibu bisa tahu sebab pihak sekolah mengadu, sekaligus meminta agar Ibunya datang besok atas masalah yang ia timbulkan. Walau bukan dirinya yang memulai, tapi tetap saja luka-luka di wajah Toneri adalah maha karyanya. Yang mana tidak Sasuke sesali sama sekali.

Baru kali ini orang tuanya dipanggil ke sekolah lantaran ia berperilaku buruk. Ia terkenal sebagai murid berprestasi dan bukannya pembuat onar. Maka dari itu Sasuke takut. Akan seperti apa respon keluarganya, yang pasti tidak baik. Bisa dilihat sang Ibu dan kakak siap beradu argumen dengannya sampai mampus.

“Ya atau tidak, Sasuke?”

“Ya.”

“Karena membela Hinata?”

Sasuke mengangguk.

“Jadi benar...” Mikoto menghela napas, “Setelah kaki Hinata sembuh, Kaasan mau dia pergi dari sini.”

That Girl -SH ver- (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang