Bab 1 - Paket Pertama

3.5K 230 4
                                    

"Paketttt!"

"Pakeeetttt!!!"

"Pakeettttt!

Entah sudah berapa kali lelaki itu memberitahu kedatangan paket pada rumah bercat biru. Namun, sosok pemiliknya tidak saja ke luar.

Jika saja paketnya sudah dibayar dia akan melemparnya asal di depan teras rumah si pemilik paket lewat pagar besi yang tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, paket itu belum dibayar atau biasa disebut COD.

"Pakeeeet!" Kedua kakinya berjinjit mengintip lewat pagar besi, pintu rumah si pemilik paket masih tertutup.

Dia terus meneriakinya hingga mengundang perhatian beberapa tetangga Neina yang lewat. Ada empat ibu-ibu yang kini berada di depan si kurir. Jika dilihat sepertinya mereka baru saja pulang berbelanja karena masing-masing membawa kantung kresek putih yang memperlihatkan sayuran hijau.

"Paket punya saya, Mas?" tanya wanita bertubuh gempal, menunjuk sebuah kotak yang dipegang si lelaki dengan memajukan dagunya. Kotak persegi yang dibalut dengan banyaknya perekat agar tidak mudah terbuka hingga merusak isi di dalamnya.

"Bu Neina?" tanyanya ragu.

Ibu itu menggeleng lalu menoleh ke arah tetangganya. Mereka serempak menggeleng menyatakan jika dirinya bukan bernama Neina.

"Paket punya Neng Neina, Mas?" tanya ibu yang sempat bertanya sebelumnya.

"Iya, bu. Rumahnya benar ini kan? Soalnya kata orang di Pos Ronda rumahnya Bu Neina itu ini." Kurir itu menunjuk rumah di depannya.

"Iya betul, Mas."

"Tapi kok orangnya belum aja keluar ya?" tanyanya lagi. "Apa orangnya enggak ada di rumah?"

"Ada kok. Tadi aja dia beli sayur. Coba ketuk aja pintunya." Saran dari ibu berbadan subur yang kini membenarkan anak rambut menutupi mata kirinya.

Ketiga ibu-ibu yang menyempatkan dirinya ikut mengobrol dengan Abraham lebih dulu meminta izin pulang ke rumahnya masing-masing setelah memastikan paket itu bukan untuk mereka. Kecuali, ibu berbadan subur masih tetap berdiri membantu si kurir.

"Gerbangnya buka aja, pasti enggak dikunci. Masalahnya mereka kalau diteriaki di sini terus enggak bakalan dengar." Seperti tebakan si wanita bertubuh gempal jika si pemilik rumah memang tidak menguncinya. Hanya ditutup saja, memudahkan orang yang keluar masuk. Jadi, untuk apa gunanya ada pagar?

"Nah, kan, enggak dikunci?" ucap Wanita itu lagi saat pagar besinya dibuka si kurir.

"Terima kasih ya, Bu. Sudah membantu." Kedua matanya menyipit karena sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Jika ditilik dengan saksama lelaki itu memang memiliki aura yang begitu memesona.

"Sama-sama. Kalau gitu saya permisi dulu ya. Ketuk aja pintunya."

Tok ... tok ... tok ....

Tiga kali ketukan pintunya masih saja belum dibuka. Lelaki itu kembali mencoba mengetuknya lagi dengan malas. Pandangannya dia edarkan pada beberapa tanaman yang di simpan di setiap ujung halaman. Namun, si kurir tersebut terlonjak kaget saat menyadari ketukannya tidak terdengar keras seperti sebelumnya. Dia malah mendengar suara meringis seorang perempuan yang kini mematung di ambang pintu sambil mengusap keningnya pelan.

"Aduh! Kamu kira saya pintu, apa?" Gadis yang bernama Neina itu menepis tangan si kurir.

"Eh, maaf," ucap si kurir, lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ada apa?" tanya Neina kesal mengalihkan pembicaraan. Dia masih saja mengelus pelipisnya, padahal sebenarnya tidak terlalu sakit. Gadis itu memang selalu berlebihan.

MAS KURIR MERESAHKAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang