Bab 29 - Wedding

704 74 5
                                    

Happy Reading 🤗 Follow akun aku, vote dan komen ya.

****

Dentuman musik terdengar memekak hingga menggetarkan dada. Sudah dari jauh hari dia menata kesiapan untuk melihat seorang kekasih bersanding dengan sosok pilihannya di atas pelaminan.

Dekor berwarna cream yang dipadu dengan putih memberikan kesan sederhana dan menenangkan mata karena warnanya yang tidak mencolok atau terang.

Hiasan bunga memenuhi lokasi perayaan pernikahan, mempermanis suasana sehingga lebih terlihat romansa.

Dua biduan yang mengenakan hijab memberikan penampilan terbaik teruntuk para tamu undangan yang tengah menikmati hidangan makanan. Gado-gado pengantin menjadi incaran santapan mereka karena selalu memiliki cipta rasa yang berbeda di setiap perayaan pernikahan.

Ada pula beberapa tamu yang masih mengantri untuk bersalaman pada kedua pengantin yang kini sudah sah menjadi sepasang suami-istri.

Wajah mereka tampak bahagia, terlihat dari bibirnya yang merekah saat menyapa kerabat dan sanak-saudara yang hadir menjabat tangan keduanya.

Gadis yang sedari tadi memainkan cinderamata berupa gantungan kunci berbentuk hati menatap langit biru cerah tidak secerah hatinya saat ini.

Masih ingat betul seminggu lalu dia mendapatkan sebuah surat undangan pernikahan yang awalnya tidak akan didatanginya. Akan tetapi, ibunya mengusahakan putrinya untuk datang.

Antrian panjang menuju ke atas pelaminan untuk menjabat tangan pengantin dan sekedar mengucapkan selamat kini mulai terkikis. Hingga gadis yang sedari tadi terdiam terpaksa melangkah maju.

Terakhir kali keduanya bertemu beberapa bulan yang lalu, dan kini mereka kembali dipertemukan dalam sebuah perayaan pernikahan.

Keinginan yang menggebu sedari dulu bersanding dengan si kurir tampan enyah begitu saja begitu kedua matanya menangkap jemari pasangan baru itu yang saling bertautan.

"Selamat ya, Mas."

"Makasih udah hadir ya, Nei." Abraham melemparkan senyumannya yang merekah, melunakkan kembali hati Neina. Namun, gadis itu berulang kali beristighfar mengingat si lelaki sudah sah menjadi suami orang lain.

Gadis berhijab yang sedari tadi terdiam, menyapa Neina dengan ramah memutuskan kontak mata keduanya yang begitu lekat.

"Selamat ya, Anjani." Meski Neina tidak mengenal mempelai perempuan itu, tapi dia berusaha untuk menyapanya.

Tidak pernah terbayang olehnya akan hadir di acara mantan kekasih. Haluannya dia yang akan menjadi pendamping di samping Abraham, tapi nyatanya semesta tidak merestui hubungan keduanya.

"Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah ya."

"Makasih ya, Nei." Abraham kembali menyunggingkan bibirnya ke atas.

"Kita ajak aja foto bareng, Mas. Sepertinya kamu juga kenal dekat dengan dia." Perempuan di sampingnya berbisik pada lelaki yang telah halal baginya.

Lelaki berjas putih itu memandang Neina lebih dulu yang tetap menampilkan senyumannya, tidak terlihat sedikit pun guratan kesedihan di wajah mungilnya.

"Si Nengnya berdiri di tengah kedua mempelai aja ya." Pria berkemeja kotak-kotak biru itu memperagakan kedua tangannya untuk membagi posisi agar menghasilkan jepretan yang bagus.

Pria itu mulai mendekatkan lensa kameranya ke arah ketiga orang yang bergaya bebas. Neina berusaha untuk tersenyum meski terpaksa, dia tidak mau jika hasil potretannya jelek. Bagaimana jika cetakannya keluar terus Abraham melihatnya. Dia bisa saja merasa menyesal karena pernah dekat dengan gadis sejelek dirinya. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, otaknya sudah ngelantur ke mana-mana.

Photographer itu mengangguk pelan begitu dia sudah berhasil memotretnya. Begitu Neina hendak melangkah, tangannya terasa dicekal dengan kuat.

Kedua matanya memejam berusaha mengikhlaskan segala kejadian yang telah menimpanya. Dia sangka, orang yang mencekal pergelangan tangannya itu Abraham. Namun, begitu Neina menoleh ke belakang sosok Lastri yang menahannya untuk tetap di atas pelaminan.

"Lastri?" Neina menaikkan alisnya sebelah.

"Jangan dulu turun. Temanin aku di sini." Lastri berbisik sangat lirih.

Mereka berdua sudah kembali berbaikan. Lagipula tidak ada untungnya bermusuhan dengan teman sendiri hanya karena seorang lelaki. Toh, akhirnya juga Abraham menikah dengan gadis lain bukan dari salah satu di antara keduanya.

Lastri menggamit lengan temannya dengan erat. Anjani merespon perlakuan mereka hanya dengan senyuman. Begitu dia tersenyum sederet gigi putih yang rapi terlihat, dan lesung pipinya terlihat sangat manis. Pantas saja Abraham memutuskan untuk menikah dengannya, perempuan itu memang cantik.

"Selamat ya, Mas." Lastri menangkupkan kedua tangannya di atas dada. Sedangkan pada Anjani dia meraih tangannya yang dihias dengan henna berwarna cokelat.

"Semoga kalian menjadi pasangan yang sakinah mawaddah warohmah sampai kakek-nenek. Aamiin."

"Makasih ya, Las."

Abraham menyunggingkan bibirnya ke atas, Neina berteriak dalam hati meminta pertolongan agar dia tidak jatuh cinta pada suami orang.

"Mas Abra Katabra udah nikah, sadar dong Neina. Jangan jadi pelakor." Gadis itu membatin dalam hatinya, meremas tangan Lastri karena gemas sendiri.

Keduanya pun turun dari atas pelaminan. Abraham mempersilakan mereka untuk segera menyantap hidangan.

Neina menyendok hidangan makanan yang tersaji dalam porsi yang banyak. Gadis itu melahapnya dengan kesal, tapi rasanya terasa hambar. Padahal tamu undangan di sampingnya yang tengah berbisik dengan pasangannya berbincang mengenai hidangannya sangat enak. Namun, kenapa Neina tidak merasa kenikmatan begitu lidahnya mengecap makanan.

"Las ... makanannya enak enggak?" tanya Neina.

"Hambar." Lastri mencicipinya sedikit, dia hanya memainkan makanan itu dengan sendoknya. Dia merasa malas makan, atau memang tidak berselera.

"Kenapa ya makanannya enggak ada rasanya."

"Coba deh bawa pulang pasti ada rasanya, Nei." Lastri meraih segelas air mineral di kursi sampingnya.

"Kenapa? Kok bisa gitu?" tanya Neina mengangkat alisnya sebelah.

Lastri menelan seteguk air mineral yang sudah melonggarkan tenggorokannya.

"Karena kamu makan sambil liat mereka. Makanya hambar." Dagu Lastri menunjuk ke arah Abraham dan istrinya yang tengah melakukan sesi pemotretan.

Lelaki berkemeja kotak-kotak biru itu mengarahkan gaya keduanya agar menghasilkan potretan yang maksimal bagus.

Neina mengembuskan napasnya pelan, membenarkan perkataan Lastri yang terdengar menyakitkan hatinya begitu kedua matanya kembali memandangi pasangan baru di depannya.

"Aku mencoba untuk ikhlas, Las." Neina menundukkan kepalanya dalam.

"Kalau aku sih emang udah ikhlasin dia semenjak kejadian kita tidak saling bersapa, Nei. Malahan aku kira kamu yang akan bersanding di sampingnya." Lastri ingat betul dengan kejadian beberapa bulan yang lalu.

"Sudahlah. Aku sama dia memang enggak berjodoh."

"Tapi ... aku dengar, Mas Abraham itu dijodohkan dengan Anjani," seru Lastri.

Neina terbelalak tidak menyangka dengan apa yang diucapkan Lastri. "Mereka dijodohkan? Kamu kata siapa?"

"Saudara aku itu ternyata saudaranya Anjani. Katanya mereka dijodohkan, dan keduanya juga menyetujui perjodohan itu. Mungkin, langsung saling suka." Lastri menggedik tidak tahu menahu pasti perihal keduanya.

"Sudahlah. Lupakan. Aku sekarang fokus cari pengganti Mas Abra, Las."

Satu kali tepukan di bahu Neina dengan pelan. Dia mencoba untuk menenangkan gadis itu yang kembali menatap ke arah pelaminan dengan nanar.

***
Apa? Mas Abra sold out? Aku enggak bisa berpikir sih kalau jadi Neina gimana;(

Gimana nih menurut kalian di bab ini gais?

Ig : Cloveriestar

MAS KURIR MERESAHKAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang