Bab 8 - Izinkan Aku

587 100 2
                                    

Tidak kuat melihat kebersamaan kedua insan di bawah pohon rindang menyejukkan mata. Namun, tetap saja menyalakan api cemburu dalam hati gadis lain yang melihat keduanya. Gadis itu kembali masuk ke dalam rumahnya.

Kedua lutut Neina tampak lemas begitu hendak melangkah masuk. Tatapannya masih saja kosong setelah melihat kejadian yang tidak seharusnya dia lihat.

Mereka mengobrol dengan keakraban seperti teman lama. Namun, berbeda jenis kelamin membuat Neina memikirkannya. Jika ada yang ingin mengatakan gadis itu berlebihan, silakan. Memang tidak seharusnya dia bersikap demikian. Sadar dirilah, dia bukan siapa-siapa.

"Kenapa? Bengong gitu kayak habis liat hantu aja." Lela berjalan melewatinya, tetap saja putrinya tidak menjawab pertanyaan ibunya.

Tok ... tok ....
Suara ketukan pintu membuat pertanyaan ibu tertunda. Lela menghampiri ke depan rumahnya dan mendapati Lastri yang tengah tersenyum, manis.

"Ada Neina, Bu?" tanyanya.

"Oh mau ambil pesanan lagi ya?" tebak ibu. Pertanyaan ibu diangguki Lastri.

"Neina!" panggil ibunya.

Neina terperanjat dari panggilan ibunya. Dia pun segera menghampiri dan mendapati Lastri yang berdiri di ambang pintu. Tubuh gadis itu mematung, baru saja dirinya melihatnya berduaan dengan Mas kurir meresahkan itu.

"Aku mau ambil baju gamis pesanan itu, Nei."

Tidak banyak bicara, Neina cepat mengambil barang yang Lastri pesan. Gadis itu pula tidak ingin tahu hubungan apa di antara gadis berhijab dengan kurir meresahkan itu.

Hatinya tetap nekad untuk mendapatkan hati Mas kurir sampai dapat. Jadi, apa pun yang terjadi dalam hidup Abraham, Neina tidak ingin tahu. Dia akan terus pepet cintanya.

"Semuanya cuman seratus sembilan puluh lima, Las."

Lastri pun memberikan uang selembar seratus ribu. Begitu Neina akan memberikan kembaliannya, gadis itu menolak.

"Kembaliannya buat kamu aja, Nei."

Dengan senang hati, Neina menerimanya. Lagipula itu rezeki, jangan ditolak.

Sekelebat bayangan tentang Abraham membayang saat kedua matanya bersitatap dengan Lastri. Pertanyaan-pertanyaan menumpuk memenuhi otaknya. Pikirannya membuncah bersamaan itu sang ibu memecah keheningan.

"Eh, Neng Lastri. Sini duduk dulu." Lela mempersilakan gadis ayu itu dengan ramah. Tangannya menepuk-nepuk kursi yang berada di teras depan rumahnya.

Tidak enak jika menolak, Lastri menuruti permintaan dari wanita paruh baya itu.

"Tambah ke sini makin ayu aja, Neng."  Lastri menanggapinya dengan senyuman manis di bibir tipisnya.

Neina melengos mendengar pujian ibunya yang sering dilontarkan ke semua anak tetangga. Hanya dia selalu putri kandungnya yang tidak pernah dibilang cantik.

"Sama anaknya enggak pernah bilang cantik tuh." Mulut gadis itu tersulut, hal itu membuat Lastri mengekeh.

"Semua perempuan cantik." Begitu Lastri merenggangkan perdebatan antara ibu dan anak.

"Sama orang mana?" tanya Lela.

Mendengar itu Neina cepat memposisikan tubuhnya dengan tegak.

"Masih orang Indonesia kok," jawab Lastri diiringi dengan kekehan panjang darinya juga Lela.

"Indonesia kan luas." Lela kembali menimpali ucapan dari gadis muda itu.

Lastri tersenyum mengembang. "Doakan saja yang terbaik."

Neina berasumsi jika Lastri jatuh hati pada kurir meresahkan itu. Dari cara pandangnya dia begitu mengharapkan si lelaki. Tidak mau gadis itu terkalahkan, kali ini dirinya berteguh hati untuk lebih menancapkan gasnya menarik hati Mas kurir.

Sepulang Lastri, Neina terduduk di teras rumahnya sambil menunggu kurir meresahkan itu kembali lagi. Terakhir kali dilihatnya Abraham pergi ke kampung belakang, otomatis lelaki itu akan kembali ke arah rumahnya untuk pulang.

Sudah seharusnya Neina bersimpuh, bersujud syukur atas letak rumah yang dimilikinya sangat strategis.

Belum juga dia berdoa lebih kuat, Abraham melewati rumahnya tanpa menyapa. Padahal sepersekian detik manik matanya beradu membuat Neina tersipu.

"Mas kurir tuampan," teriak Neina begitu keras membuat beberapa tetangga yang tengah bersantai mencari segerombolan kutu di kepala anaknya cepat menoleh ke sumber suara.

Siapa lagi jika bukan putrinya Lela yang berteriak bagai toa masjid. Inginnya Abraham cepat melarikan diri dengan motornya, tapi takdir malah menyuruhnya berhenti.

"Duh sayang akhirnya berhenti juga." Neina menghampiri Abraham yang tengah mendengus kesal. "Rindu ya?"

"Jangan salah paham. Ban motor saya kempes." Kurir itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Neina dengan jail mengedipkan matanya mencoba tuk menebarkan pesona.

"Takdir itu emang enggak salah memihak, Cuyung." Neina memang belum menyerah meski ditanggapi dingin oleh lelaki yang kini tengah berjongkok memperhatikan ban motornya.

"Saya bukan ikan duyung." Begitu jawaban yang dilontarkannya.

Neina mengekeh. "Siapa juga yang bilang kamu ikan duyung?"

"Barusan."

"Cuyung. Cuyung. Panggilan dari Neina buat kamu."

Abraham menggelengkan kepalanya. Dia akhirnya memutuskan untuk mendorong motornya, karena bengkel letaknya lumayan jauh dari sana.

Baru saja motornya hendak didorong, secepat itu pula Neina menariknya.

"Ada apa lagi?" tanya Abraham.

"Izinkan Neina menganggumimu dalam diam, Mas kurir."

Bagaimana bisa dikatakan dalam diam? Jika yang dicintainya saja sudah tahu. Dasar Neina, mungkin otaknya tergeser beberapa derajat.

***

MAS KURIR MERESAHKAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang